Monday, August 20, 2018

PULANG


by 

Hendry menarik napas lega. Akhirnya tiba juga di rumah. Perjalanan panjang selama beberapa hari keluar kota karena tugas kantor itu selesai sudah. Kangen rasanya dirinya pada Indah dan Rama. Istri dan anaknya itu sudah terus menanyakan kabarnya bahkan semenjak tadi dari Bandara. Setelah memarkir mobilnya di basement apartemen, Hendry lalu melangkahkan kakinya menyusuri deretan mobil penghuni apartemen yang terparkir disekelilingnya. Suasana basement begitu mencekam di malam hari. Membuat bulu kuduk kadang meremang, dibarengi dengan pikiran-pikiran tidak jelas tentang sosok penampakan atau hantu-hantu gentayangan. 

Hendry memang sering mendengar, basement apartemen nya itu cukup angker. Beberapa satpam apartemen yang dekat dan sering mengobrol dengan nya mengatakan sering diganggu. Kadang katanya sering terlihat sosok penampakan wanita dengan rambut panjang dan muka tertunduk berdiri mematung di antara mobil-mobil yang terparkir. Kadang juga sering terdengar suara tawa cekikikan dan rintihan yang tidak jelas darimana asal-usulnya. Kadang katanya ada makhluk manusia setengah badan ke atas yang sering tampak menyeret-nyeret tubuhnya. Tubuhnya yang setengah badan ke bawah itu hancur, menimbulkan jejak darah panjang yang mengenaskan ketika dirinya menyeret tubuhnya kemana-mana. Hendry sering mendengar cerita, sosok ini kerap membuat orang lari tunggang-langgang terbirit-birit. Karena katanya sering tiba-tiba memegang dan menarik kaki orang-orang yang lewat di lantai basement.

Hendry pun sebenarnya kerap mendengar rumor, apartemen yang ditinggalinya bersama dengan anak dan istrinya itu terkenal angker. Dulunya katanya apartemen itu bekas rawa-rawa lebat yang tidak jelas. Sangking lebatnya, katanya jika orang membuang mayatpun tidak akan ketahuan jika dibuang disitu. Hendry sebenarnya sudah lama ingin merencanakan untuk pindah dari situ. Apalagi semenjak Rama lahir. Dirinya berencana ingin membeli rumah di pinggiran Jakarta. Namun belum ada yang cocok sampai saat ini. Baik dari segi lokasi maupun budget kantongnya. Lagipula penghasilan nya sebagai karyawan swasta hanya mampu menyisakan uang tipis-tipis setiap bulan nya. Kadang juga malah habis entah untuk apa..

Hendry mempercepat langkahnya. Aroma khas debu basement dan pengapnya udara basement menambah liarnya imajinasi tentang cerita-cerita seram yang pernah didengarnya. Sial, kenapa pintu akses menuju lantai atas rasanya jauh sekai. Hendry teringat satu lagi rumor yang sering didengarnya tentang kengerian basement parkiran apartemen nya. Cerita yang sering didengarnya menyebutkan, kalau penampakan-penampakan yang ada di basement itu selalu diawali dengan bau-bau an yang khas dan aneh. Bau anyir atau bau wangi menyengat yang tiba-tiba muncul. Bau itu biasanya akan mengawali sebelum kemunculan penampakan makhluk-makhluk halus yang ada di sekitar basement itu.

Seharusnya dirinya tidak perlu khawatir jika bau-bauan itu tidak muncul. Namun sayangnya saat pintu akses menuju lantai atas sudah tinggal sekitar 10 Meter, tiba-tiba sebuah bau yang cukup menyengat muncul. Bau nya sangat menyengat. Seperti bau anyir yang kemudian diikuti oleh bau busuk. Hendry yakin, itu bukan bau yang biasa tercium di sekitar basement. Hendry sampai mendadak menghentikan langkahnya dan memperhatikan sekeliling. Mencoba meyakinkan lagi indra penciuman nya sendiri, sambil berusaha menuntaskan rasa penasaran nya akan asal muasal bau yang timbul.

Lampu parkiran basement yang sudah lama tidak diganti, bagaikan terang segan gelap pun tak mau. Membuat suasana malah terasa seperti lokasi uji nyali. Sudut-sudut gelap yang tak terjamah cahaya seolah meyakinkan bahwa ada sesuatu yang menanti di tiap sudut-sudut gelap itu. Sampai kemudian tiba-tiba lampu pralon panjang yang ada di atasnya tiba-tiba berkedip sesaat. Membuat Hendry sedikit kaget. Nyalinya perlahan ciut juga berlama-lama di basement itu. Aroma khas anyir darah dari tadi seperti tidak mau lepas dari penciuman nya. 

“Om mau kemana?”

Sebentuk suara membuat Hendry memalingkan kepalanya. Sesosok bocah laki-laki tampak menatap Hendry dengan pandangan datar. Sempat lama Hendry memperhatikan anak laki-laki itu. Sedang apa anak itu di situ? Kenapa malam-malamjam 23:00 ada di sini?

Tiba-tiba saja rasa heran Hendry berubah menjadi rasa ngeri. Entah bagaimana jadinya, tiba-tiba kepala anak itu bisa lepas dari lehernya, kemudian jatuh menggelinding ke arah Hendry.

“Om... ambilin kepala saya dong....”. Pinta kepala anak itu dengan nada memelas ke arah Hendry. Membuat Hendry seketika langsung cabut lari tunggang-langgang bak atlit sprinter.

“Toloooongggg...... Hantuuuuu......”. Hendry berteriak melolong. Seumur-umur baru kali itu pemandangan seperti itu dilihatnya. Dirinya buru-buru lari menuju ruang lift. Untung saja sepertinya pintu lift terbuka. Jadinya dirinya tidak perlu menunggu dan bisa secepatnya kabur dari basement itu. Saat hendak masuk ke lift, Hendry sempat tersentak mundur saat sosok tubuh sebaya dirinya menyeruak dari arah dalam. Sesosok orang yang hendak keluar itu pun sempat tersentak mundur karena hampir bertabrakan dengan Hendry. Ternyata Hendry mengenali sosok yang hendak keluar itu. Ternyata itu adalah Mas Yus, tetangga nya.

Yus sempat memperhatikan Hendry agak lama. Sampai akhirnya dirinya pelan keluar dari lift, dan menyaksikan Hendry menyerobot masuk ke dalam lift kareka ketakutan. Tatapan Yus mengiringi Hendry yang ter engah-engah masuk ke lift karena ketakutan. Hendry sempat bernapas lega dirinya bisa masuk ke dalam lift. Sempat dirinya mengkhawatirkan Yus tetangganya yang tadi keluar dari lift di basement. Bagaimana kalau Mas Yus bertemu dengan penampakan anak kecil yang dilihatnya tadi?

Hendry memang tidak terlalu mengenal Mas Yus, setahu dirinya Mas Yus memang tinggal satu lantai dengan nya. Hanya berbeda tiga flat dari flat yang ditinggali Hendry bersama istrinya. Sepengetahuan Hendry, Mas Yus sering terlihat bersama seorang anak kecil dan seorang wanita. Mungkin itu anak dan istrinya. Sekali lagi, Hendry sempat merasa khawatir dengan keadaan Mas Yus.

Hendry lalu keluar di lantai 1. Dirinya memang harus turun dulu di lantai dasar untuk kemudian meminta indah istrinya menjemput nya, karena kebijakan apartemen yang mengharuskan bahwa satu flat hanya diberikan satu kartu akses untuk seluruh penghuninya. Mau tidak mau Hendry harus menelepon Indah untuk turun ke bawah dan menjemputnya seperti biasa.

“Haloo... Ma, tolong jemput Papa di bawah ya.....”, pinta Hendry kepada Indah lewat telepon.

“Papaaa..... Papa dimana??”.

“Sudah di bawah Ma....”.

“Tunggu di bawah Pa.... Mama jemput......”.

Mendengar suara Indah rasanya bagaikan tanah gersang yang disiram air hujan. Rindu rasanya untuk segera bisa bertemu dengan nya. Apalagi sempat terdengar suara Rama anaknya sayup-sayup turut memanggil-manggil : Papaaa.... Papaa..... Hendry sengaja menunggu tidak jauh dari lift. Supaya kalau Indah turun dari lift, wajahnya lah yang pertama kali dilihatnya. Dengan sabar Hendry menunggu. Agak lama ditunggu nya, tetapi entah kenapa Indah seperti tidak kunjung turun. Hendry mencoba menunggu sebentar lagi. Siapa tahu saat Indah hendak turun Rama tiba-tiba ingin buang air besar, otomatis Indah harus mengurus Rama dulu sebelum turun menjemput Hendry. Rama mencoba menunggu Indah sebentar lagi. Sabar dirinya menunggu. Menit demi menit berlalu. Tetapi Indah tak kunjung turun. Hendry mulai gusar. Ada apa dengan Indah. Mau tidak mau Hendry mengambil ponselnya dan kembali menghubungi Indah.

“Papaa... Papaa.... Papa dimana??”. Suara Indah langsung terdengar sebelum Rama sempat bertanya lebih dulu. 

“Aku di bawah Ma..... Dari tadi Papa nunggu..... Mama dimana?”. Hendry justru malah balik bertanya.

“Aku sudah di bawah Pa... Papa dimana? Kok Mama nggak lihat Papa?”. Jawaban Indah justru membuat Hendry heran. Bagaimana mungkin Indah tidak melihat dirinya? Dirinya persis ada di depan lift yang seharusnya menjadi jalan satu-satunya Indah turun. Apa mungkin Indah salah lantai? Rasanya tidak mungkin.

“Udah Ma... biar Papa cari cara naik sendiri ke atas. Nggak usah dijemput nggak apa-apa.....”

Hendry lalu mematikan telepon dan mulai memperhatikan sekelilingnya. Hanya ada satu orang petugas kebersihan sedang mengelap kaca, dan satu orang wanita tampak sedang duduk diam di kursi lobby. Hendry lalu mencoba mendekati wanita yang sedang duduk di kursi lobby dan tidak jauh darinya. Wanita itu berambut panjang dengan muka tirus. Hanya duduk seperti menatap lurus ke depan.

“Mbak, maaf Mbak... punya kartu akses untuk naik ke lantai 3?”, tanya Hendry pada wanita itu. Wanita itu memalingkan wajahnya pelan ke arah Hendry. Tatapan nya kosong seolah menembus Hendry. Wajahnya tirus pucat dengan ekspresi datar. Hendry sebetulnya sempat takut menatap wajah wanita itu. Namun karena terdesak keadaan untuk segera naik ke lantai atas dirinya mencoba memberanikan diri.
Kepala wanita itu menggeleng kaku. Masih dengan ekspresi datarnya yang aneh. Tatapan kosongnya semakin menakutkan.

“Buat apa naik ke atas?”. Wanita itu malah bertanya dengan pertanyaan dan nada yang tak kalah aneh. Jujur, Hendry malah jadi bergidik ngeri mendengarnya. Karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Perhatian Hendry teralih pada petugas kebersihan yang sedang mengelap kaca di dekatnya.

“Maaf Mas, punya kartu akses ke atas?”. Petugas kebersihan itu masih terus saja membersihkan kaca. Acuh tak acuh tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya ke arah Hendry.

“Maaf Pak, tidak bisa. Saya tidak bisa naik ke atas lagi.....”. Tanpa menghentikan pekerjaan nya, maupun memalingkan wajahnya ke arah Hendry, petugas itu menjawab pertanyaan Hendry. Seperti cuek dan tidak memperdulikan Hendry yang sangat membutuhkan bantuan nya. Lagipula Hendry merasa jawaban petugas itu juga tak kalah anehnya. 

Hendry lalu mencoba kembali menghubungi Indah. Sempat agak lama tidak diangkat. Saat diangkat Indah dengan nada cemas mengangkat telepon nya.

“Papa.... Papa.... Papa dimana? Mama cari di bawah kok nggak ada?”. Sekali lagi Hendry merasa bingung. Ada apa ini? Bertahun-tahun dirinya tinggal di tempat itu. Tidak mungkin dirinya salah tempat atau malah nyasar ke gedung lain. Begitu juga dengan Indah.

“Mama.... Maaa... Papa ada di bawah.... Nungguin Mama dari tadi.... Kok bisa nggak ketemu?? Duuuhhh.... Mama jangan ngerjain Papa dong.....”. Hendry sama sekali mulai gusar. Rasanya seperti dipermainkan.

“Papa... Mama nggak bercanda.... Mama dah cari kemana-mana di bawah Papa tu nggak ada.....”. Hendry Cuma bisa menghela napas. Aneh rasanya. Tidak masuk akal.

“Ya sudah deh, kita ketemuan dimana gitu Ma.... masak nggak bisa ketemu juga sih.....”. Nada Hendry mulai tinggi. Ingin rasanya mencoba mengingatkan Indah kalau dirinya sedang tidak mood untuk bermain-main.

“Papa... kita ketemuan di basement ya..... Di parkiran. Mama tunggu di parkiran.......”. Glek... Hendry tertegun dan langsung pucat. Namun belum sempat dirinya menjawab Indah keburu mematikan ponselnya. Terbayang basement parkiran apartemen nya yang super mengerikan itu, ditambah dengan kejadian mengerikan yang barusan dialaminya. Ragu dirinya untuk kembali turun ke bawah. Tetapi dirinya juga tidak ingin berlama-lama di sini. Mau tidak mau dirinya harus ke basement untuk menemui indah. Lagipula Indah pasti mengajak Rama. Kasihan kalau Rama berlama-lama ikut menunggu di basement.

Hendry kembali turun ke bawah dengan lift yang sama. Saat pintu lift terbuka, aura suram yang menakutkan langsung menyambutnya. Hendry sempat melongokkan kepalanya keluar lift. Khawatir kalau anak kecil tadi tiba-tiba muncul di hadapan nya. Sambil gemetaran menelan ludah Hendry berjalan pelan keluar lift. Indah belum juga kelihatan. Kemana dia? Mana keadaan sepi sekali. Tidak ada orang yang lewat atau turun ke basement. Hendry cuma bisa ceingak-celinguk memperhatikan sekelilingnya. Perasaan nya semakin tidak menentu. Ada rasa tidak enak yang menyelimutinya. Seperti ada beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikan nya.

“Duuuhh.. Indah... Kenapa lama sekali sih....”, rutuk Hendry dalam hati. Harusnya tidak perlu sampai selama ini, dirinya menunggu. Tetapi Indah tak kunjung terlihat dari tadi

“Hihihihihi....”. Tiba-tiba Hendry mendengar sayup-sayup seperti suara tawa anak kecil. Bulu kuduknya seketika meremanng. Dirinya yakin tidak salah dengar. Hendry mulai panik menebarkan pandangan ke sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu dirinya secepatnya langsung menghubungi Indah.

“Paaa... Papa dimana siiihh.... Mama cari kemana-mana di basement tapi Papa nggak ada.....”. Lagi-lagi belum sempat Hendry bertanya Indah lebih dulu mengatakan hal yang sama.

“Ma... Papa di basement.... di basement Maaa.... Mama dimana sih? Cepetan dong Ma....”. Hendry terpaksa bicara dengan setengah memaksa dan nada tinggi. Dirinya sudah terlanjur panik karena ketakutan.

“Pa... Papa kok nggak ada.... Papa dimana Paa. ??...”. Suara Indah tampak terdengar mulai memelas. Kebingungan dan hampir menangis. Hendry jadi kasihan mendengarnya. Indah pasti khawatir karena tidak dapat menemukan nya.

“Maa... Kita ketemuan di markas Pos Satpam apartemen di dekat pintu keluar basement yaa.... Papa di sana.... Kalau nanti nggak ketemu sama Mama, nanti Papa minta tolong dikasih akses buat naik ke atas sama satpam. Mama naik duluan ke atas nggak apa-apa”. Hendry lalu cepat mematikan telepon nya dan bergegas berlari ke markas pos satpam yang ada di dekat pintu keluar basement. Setidaknya kalau di sana pasti ada orang. Setidaknya pasti di sana ada 2 atau 3 orang satpam yang berjaga di sana. Paling tidak ada yang menemaninya. Kalau Indah tak kunjung datang, Hendry berencana akan meminta akses untuk naik ke atas.

Sesampainya di sana, Hendry menarik napas lega. Ada seorang satpam yang tampak sedang duduk dan berjaga di sana.
“Pak, tadi lihat ada Ibu-ibu datang ke sini nggak Pak?”. Tanya Hendry pada satpam yang ada di situ. Tampak tanda pengenal satpam yang ada di Seragam satpam itu tertera nama Rusli”.

“Wah... belum ada tuh Pak.... Bapak penghuni sini?”, tanya Satpam itu ramah.

“Iya Pak, tadi saya janjian sama istri buat naik ke atas. Tapi kayaknya dia bingung nyariin Saya kok nggak ketemu-ketemu. Bisa dibantu buat akses naik ke atas Pak?”, tanya Hendry lagi pada satpam itu tanpa basa-basi.

“Boleh Pak.... Bapak isi formulir dulu ya...”. Satpam itu lalu menyerahkan secarik formulir dan sebuah bolpoin pada Hendry untuk diisi. Beginilah memang prosedurnya kalau meminta akses. Agak ribet. Harus isi formulir segala dan ditanya macam-macam. Hendry pun mulai menulis dan mengisi formulir itu.

“Pak.... ini sudah selesai Saya isi”. Hendry lalu mengangsurkan formulir yang sudah diisinya itu pada Satpam itu. Satpam itu lalu dengan ramah menerima formulir itu dari tangan Hendry.

“Bentar ya Pa..... UHUK !!! UHUK !!!!.... UHUK !!!......”. Tiba-tiba saja Satpam itu terbatuk-batuk keras. Batuknya seperti tidak bisa berhenti.

“Pak... Bapak.... tidak apa-apa? Minum dulu Pak.....”. Hendry kasihan melihat satpam itu. Batuknya tidak bisa berhenti dan semakin parah. Lagipula kenapa satpam itu cuma sendirian. Tidak ada satu orang pun satpam lain yang menemani

“UHUK !!! UHUK !!! Tidak Pak.... UHUK !!! Bentar.... UHUK !!! UHUK !!!.......”. Tubuh Satpam itu berguncang-guncang semakin keras. Beberapa kali sampai mengejang. Hendry mencoba mencari gelas atau air minum yang bisa diberikan pada Satpam Rusli untuk meredakan batuknya itu. Tetapi Hendry tidak bisa menemukan nya disekitar situ. Jadinya Hendry Cuma bisa menepuk-nepuk punggung satpam Rusli. Berharap batuknya satpam itu akan segera mereda kemudian. Hanya saja tidak ada tanda-tanda batuk itu akan mereda. Malah sepertinya semakin hebat dan keras.

“UHUUUHHHKKK !!!!!!.... UHUHHKKK !!!!!.... UHUEEEEEKKKK !!!!.......”. 

PROOOTTT 

Rusli memuntahkan darah di sela-sela batuknya. Benar-benar muntah. Darah itu banyak sekali. Merah menghitam membanjiri meja yang ada di depan nya. Hendry terhenyak terkejut melihat kejadian yang ada tepat dihadapan nya. Darah yang keluar dari mulut Satpam itu, tidak hanya batuk. Hendry sebenarnya sudah cukup ngeri melihat genangan sebanyak itu dihadapnya. Namun satu hal yang membuat mata nya langsung tidak tahan lagi melihatnya. Ada seperti bercak titik-titik putih yang muncul dari genangan darah itu. Titik putih itu ternyata kemudian menggeliat, menunjukkan bentuk aslinya. Itu belatung. Membuat Hendry langsung melangkah mundur begitu menyadarinya.

“Paaakk.... Paaakkk.... Tolong saya.... UHUEEEKKK !!!!....”. Satpam itu sempat meminta tolong pada Hendry. Wajahnya berubah menjadi pucat. Sebelum akhirnya memuntahkan belatung bercampur darah lebih banyak lagi di atas meja.

Hendry tidak tahan melihatnya. Ada naluri yang langsung memberitahunya. Ada yang tidak beres dengan Satpam Rusli. Membuatnya langsung mengambil langkah pergi meninggalkan Satpam Rusli. Apalagi tidak ada satpam lain saat itu disekelilingnya. Dirinya lalu berlari ketakutan karena rasa ngeri dan jijik yang me-raja di dalam pikiran nya. Secepatnya Hendry berusaha kembali menghubungi Indah. Dirinya tidak ingin Indah dan Rama yang menjemputnya ke Pos Satpam itu bertemu dengan Hendry yang sedang memuntahkan belatung.

“Maa... Mama.... Mama dimana? Jangan ke Pos satpam Basement Ma..... Papi mohon... jangan ke Pos Satpam basement”. Hendry tanpa sadar berteriak memperingatkan Indah supaya jangan ke Basement. Dirinya tidak ingin Indah melihat pemandangan mengerikan yang baru saja disaksikan nya.

“Paaaa... Papa dimana? Mama pengen ketemu Papa...... Papa dimana?......”.. Indah terdengar menangis sesenggukan. Seperti juga putus asa tidak bisa menemukan Hendry. Sepertinya Indah sudah mencarinya dari tadi namun juga tidak kunjung menemukan nya.

“Iya... Iya Maaa... Papa juga pengen nya sih cepat ketemu Mama..... tapi kok dari tadi Papi berusaha cari Mama nggak ketemu..... Sabar ya Maa.... Ini Papa juga berusaha kok.....”. Hendry berusaha menenangkan Indah. Dirinya paling tidak tahan mendengar Indah menangis.

“Paaa.. Kenapa Mama nggak bisa ketemu sama Papa??... Kenapa Paa??.... Papa dimana?”. Indah terdengar menangis semakin keras. Membuat Hendry semakin ingin segera bertemu dan menenangkan Indah. Sepertinya juga Rama bersama Indah. Terdengar sayup-sayup Rama bertanya pada Indah : Mama... Papa mana?.... Papa Mana?

“Sabar ya Ma... Mama tenang dulu..... Mama naik saja lagi.... Kita ketemu di atas aja.... Biar Papa berusaha naik sendiri”. Tepat saat itu, pembicaraan Hendry dan Indah terputus. Ponselnya mati. Sepertinya baterai ponsel Hendry habis. Hendry hanya bisa menghela napas panjang. Tidak ada pilihan sekarang. Dirinya harus berusaha naik ke atas sendiri. Cepat kemudian dia berjalan ke arah lift. Menunggu lift untuk turun. Dengan gusar dirinya memencet-mencet tombol lift yang ada dihadapanya. Berharap tindakan nya itu bisa membuat liftnya bisa turun lebih cepat lagi. Satu sisi dirinya pun sadar, kalau tindakan nya itu adalah tindakan yang sia-sia. 


Hendry hanya bisa mondar-mandir bolak-balik di depan lift dengan perasaan yang semakin gusar. Selain gusar, rasa takut dan khawatir juga menambah pikiran tidak nyaman di dalam kepalanya. Berharap cemas, mudah-mudahan hantu anak kecil dan satpam Rusli atau hantu-hantu yang lain tidak akan muncul dihadapan nya. Ada rasa panik yang menggelayutinya ketika lift yang ditunggu tidak kunjung turun menjemputnya. Apalagi suasana mencekam yang dirasakan nya tidak kunjung mereda. Bahkan semakin menjadi. Seperti ada banyak mata yang memandang ke arahnya, dan ada sesuatu yang bersiap muncul kemudian. 

Hendry kembali memencet-mencet tombol lift itu dengan kasar. Rasa khawatirnya berubah menjadi rasa frustasi. Hanya ada satu pikiran yang ada di kepalanya. Dirinya harus secepatnya naik ke atas. Kenapa hari ini rasanya kejadian aneh begitu bertubi-tubi ditemuinya.

“Mas Hendry.... “. Sebentuk suara tiba-tiba muncul menyapa dari arah belakangnya. Membuat tenggorokan Hendry tercekat. Keringat nya seketika membanjir membasahi wajahnya yang pucat pasi. Pelan kepalanya menoleh ke belakang. Seolah ragu mendengar suara yang memanggil dari arah belakangnya. Hendry berusaha memicingkan matanya dan melihat ke arah belakang. Sebisanya mengintip tanpa banyak menoleh ke belakang.

“Haduuuhhh... Mas Yus... Saya pikir siapa....”. Hendry langsung membuang napas sangking lega nya begitu melihat ternyata yang ada di belakangnya adalah Yus tetangga nya.

“Mas Hendry mau kemana? Kok kelihatan nya panik begitu?”. Hendry berusaha menceritakan apa yang dialaminya hari itu. Namun sepertinya segala sesuatunya terlalu panjang untuk diceritakan di situ.

“Kita naik dulu yuk. Ngopi-ngopi dulu. Saya traktir deh....”. Mas Yus tampak tenang dan tidak terlalu menanggapi. Malah mengajak Hendry untuk naik ke atas dan ngopi. Satu sisi Hendry juga lega. Mas Yus satu lantai dengan nya. Paling tidak dirinya bisa ikut Mas Yus nanti untuk naik ke lantainya.

Sesampainya di Cafe, Hendry dan Yus duduk berhadapan. Sebelum duduk tadi Yus sudah memesan kopi untuk menemani mengobrol. Hendry lalu menjelaskan panjang lebar tentang kejadian apa yang dialaminya barusan. Termasuk soal Satpam Rusli dan kebingungan nya kenapa tidak bisa menemukan Indah walaupun sudah berusaha menghubunginya dari tadi.

“Rusli itu sudah meninggal Mas, 6 bulan yang lalu. Sebelumnya dikeluarkan dari pihak security karena sakit TBC. Takutnya TBC nya menular di antara kawan-kawan nya. Dia juga meninggal karena TBC nya sudah terlambat diobati”. Cerita Mas Yus membuat Hendry terhenyak. Berarti tadi yang dilihatnya barusan adalah hantu.

“Wanita yang Mas Hendry temui dan petugas kebersihan itu juga sudah meninggal lama sebetulnya, kalau anak kecil yang Mas Hendry lihat di bawah itu, jelas tidak usah ditanyakan lagi”. Yus berusaha menjelaskan semua hal yang dialami Hendry tadi. Hendry sempat heran melihat Yus, tampak begitu tenang menanggapi semua itu. Padahal biasanya kalau cerita seperti itu diceritakan pada orang lain, biasanya orang itu hanya akan tidak percaya, atau malah sebaliknya menanggapi cerita itu dengan heboh dan terheran-heran.

“Kok bisa ya Mas, saya mengalami hal seperti itu bertubi-tubi. Biasanya saya tidak pernah mengalami hal-hal seperti ini. Apalagi sampai melihat penampakan yang jelas sekali....”, ujar Hendry. Mimik Yus langsung dilihatnya berubah. Agak kebingungan dan tidak langsung menjawab. Sampai akhirnya pegawai cafe membawakan secangkir kopi hitam yang tampak masih mengepul. Hendry merasakan aroma kopi itu begitu nikmat. Membuatnya lupa akan aroma basement yang pengap dan sempat menghantui pikiran nya tadi. Hanya saja kenapa cangkir kopi itu hanya 1. Apakah memang Mas Yus tidak memesan kopi untuk dirinya sendiri?

“Coba Mas Hendry ingat-ingat, kejadian waktu Mas Hendry pulang menuju apartemen ini....”. Yus bertanya kemudian pada Hendry. Membuat pikiran Hendry melayang sejenak. Pikiran nya mencoba mengingat-ingat.

“Saya cuma ingat sinar merah yang mendadak muncul di depan. Itu lampu belakang truk. Saya berusaha menghindar. Saya tidak yakin apakah saat itu bisa menghindar. Saya terlalu lelah waktu itu. Saya hanya ingin cepat pulang. Supaya bisa bertemu Indah dan Rama. Tapi rasanya sehabis itu, Saya hanya bisa mengingat Saya memacu kendaraan Saya secepat-cepatnya, supaya bisa sampai di rumah. Saya hanya ingin pulang.....”. Setelah itu entah dari mana sebuah ingatan muncul berkelebat di kepala Hendry. Pecahan kaca yang menghujani tubuhnya karena mobilnya menabrak bagian belakang truk. Bagian depan mobil yang langsung ringsek dan bingkai kemudi yang langsung menekan dan menghancurkan bagian depan tubuhnya. Sebuah besi panjang dari bagian belakang truk juga tidak ketinggalan langsung menghantam dan menembus kepalanya. Kecepatan nya memang sangat tinggi waktu itu. Dan Hendry terlambat untuk mengerem dan memperlambat laju kendaraan nya. Tapi... rasanya tidak mungkin.

“Mas Hendry sudah ingat semuanya?”, tanya Mas Yus kemudian.

“Tapi, tidak mungkin Mas. Saya masih bisa menghubungi Indah. Dan Indah masih menjawab telepon Saya. Tidak mungkin rasanya kalau saya sudah......”. Mata Yus menatap pelan ke arah Hendry. Tampak tenang tanpa ada kesan menghakimi atau memaksa Hendry untuk segera percaya dengan apa yang dialaminya. Tampak sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.

“Ada kala nya memang, kadang orang yang sudah meninggal bisa menghubungi orang yang sudah meninggal. Karena kuatnya keinginan orang yang meninggal itu untuk bisa berkomunikasi, atau ingin menyampaikan pesan kepada kerabat yang ditinggalkan nya”. Mas Yus tampak berusaha perlahan-lahan menjelaskan kepada Hendry. Sikapnya tampak nothing to lose. Menyerahkan semuanya pada Hendry apakah hendak mempercayainya atau tidak.

“Omong kosong.....”. Hendry masih tidak percaya dengan perkataan Yus. Ada rasa tidak terima di dalam dada nya. Tidak begitu saja dengan mudah menerima apa yang dikatakan oleh Yus. Namun sikap Yus yang begitu tenang, seolah ingin menunjukkan bahwa tidak ada maksud tertentu atau aneh-aneh dirinya menyampaikan semua hal itu pada Hendry.

“Silahkan Mas Hendry minum dulu kalau begitu...”. Mas Yus lalu menyodorkan secangkir kopi yang ada dihadapan nya.kepada Hendry. Entah apa maksud Mas Yus, tapi memang kebetulan Hendry ingin minum. Namun ditahan nya dari tadi karena dilihatnya minuman Mas Yus tidak kunjung datang. Tidak enak jika minum sendiri. Tapi berhubung Mas Yus sudah mempersilahkan, dirinya jadi tidak merasa bersalah lagi.
Namun saat hendak mengambil gelas yang ada di hadapan nya, tangan nya tidak mampu meraih gelas itu. Tangan nya begitu saja menembus gelas itu. Seolah tangan nya hanya berbentuk bayangan tak kasat mata dan terbuat dari angin. Hendry langsung lemas menyadari nya. Beberapa kalipun dirinya mencoba meraih gelas itu namun gagal. Seolah ingin menunjukkan dan memberikan kenyataan bahwa dirinya sudah ada di alam yang berbeda dari yang sebelumnya. 

“Tapi kenapa Mas Yus bisa melihat dan berbicara dengan Saya? Apa Mas Yus juga sudah meninggal?”. Hendry kemudian bertanya setelah sempat sebelumnya terdiam lama. Berusaha mengendalikan perasaan nya yang berkecamuk. Antara sedih, kecewa, marah dan tidak terima.

“Saya masih hidup Mas. Semenjak kecil memang Saya bisa melihat yang tidak bisa dilihat orang biasa Mas. Saya bisa melihat orang yang telah meninggal, arwah atau makhluk tak kasat mata. Saya Indigo.....”. Yus kembali menjelaskan pada Hendry. Tatapan nya berubah menjadi sendu dan menyiratkan empati pada apa yang dialami oleh Hendry.

“Indah tadi sempat mengetuk pintu apartemen Saya, kebetulan istri saya Mitha yang menemuinya. Indah bilang dapat kabar dari polisi Mas Hendry kecelakaan. Dia panik dan kebingungan. Saya dan Mitha sempat menenangkan nya. Beberapa saat setelah itu. Ternyata telepon dari Mas Hendry masuk. Indah sempat senang tadi, dipikirnya Mas Hendry tidak apa-apa. Tapi Saya bilang sebaiknya di cek dulu. Sehingga akhirnya diputuskan Saya yang datang ke Rumah Sakit untuk mengecek jenazah Mas Hendry. Saat kita berpapasan di lift sebelumnya tadi, sebetulnya Saya sudah merasa. Namun Saya memutuskan untuk tetap ke rumah sakit dan mengecek. Indah pun sebenarnya sempat berusaha turun dan mencari Mas Hendry, namun tentu Saja tidak bisa menemukan Mas Hendry di bawah. Tadi Saya barusan pulang dari Mas Hendry dan hendak mengabari Indah. Dan ternyata Saya masih melihat Mas Hendry ada di bawah situ”. Hendry tercenung mendengar semua itu. Rasa cemas dan kekhawatiran berubah menjadi rasa kebingungan. Apa yang harus dilakukan nya? Dan bagaimana dengan Indah dan Rama? Memikirkan itu semua membuat perasaan Hendry kalut dan buntu.

“Lalu Saya harus bagaimana Mas?”, tanya Hendry kemudian. Dirinya hanya bisa menatap kosong tanpa ada satupun ide tentang apa yang harus dilakukan nya kemudian.

“Ikhlas lah dengan apa yang terjadi Mas. Pasrahkan Rama dan Indah. Pasrahkan mereka pada Allah. Ada Allah yang selalu menjaga mereka. Lepaskan semua beban urusan Mas. Semua sudah selesai Mas. Yang ada sekarang hanya diri Mas seorang, tanpa ada apa pun yang melekat. Sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan Mas. Pasrahlah pada Allah”. Pikiran Hendry masih berkecamuk. Apa yang diucapkan Mas Yus bukanlah hal yang mudah dilakukan, hanya mudah untuk diucapkan.

“Mas tidak usah khawatir. Saya akan temani sampai Mas Hendry bisa melepaskan semuanya....”. Ucapan Yus begitu tulus. Entah apa yang menyebabkan, Hendry menceritakan semuanya. Seluruh perjalanan hidupnya. Seluruh masalahnya. Kisahnya dengan Indah, sampai kemudian memiliki Rama. Permasalahan nya di kantor. Urusan nya dengan teman-teman dan rekan nya. Yus tampak mendengarkan semua itu dan menanggapi semuanya selayaknya teman mengobrol yang asyik. Lama-kelamaan Hendry merasa plong. Beban yang dirasakan dalam pikiran nya seperti lepas. Ada rasa damai yang tidak bisa dijelaskan yang muncul. Rasanya begitu damai dan tenang. Apakah mungkin sikap tenang Mas Yus juga dengan begitu mudah menular padanya. Waktu demi waktu dan menit demi menit lewat begitu saja. Sampai akhirnya seperti tidak ada yang bisa diceritakan lagi. Yang tersisa hanya ada rasa pasrah dan berserah, namun damai.

“Saya tidak akan menjadi seperti mereka yang Saya temui tadi kan Mas?”. Hendry ingin memastikan nya sekali lagi pada Yus. Yus hanya tersenyum dan memandang lembut.

“Tidak Mas... Mas sudah tenang sekarang. Saya bisa rasakan. Mas Hendry sudah damai. Saya tidak salah kan Mas?”, tanya Mas Yus kembali. Hendry pelan memejamkan matanya. Memastikan lagi tidak ada rasa yang tersisa selain rasa damai dan kepasrahan.

“Anda tidak salah Mas..... Sudah agak mendingan rasanya”. Jawaban Hendry membuat Mas Yus tersenyum. Lalu pergi ke meja kasir dan membayar kopi yang dipesan nya.

“Ayo Mas Saya antar......”. Yus lalu mengajak Hendry keluar dari cafe itu. Mereka lalu berjalan ke lobby dan menuju arah lift. Yus lalu menekankan tombol lift untuk Hendry.

“Mas Hendry , lift ini akan mengantar Mas Hendry ke atas. Tapi bukan ke lantai tempat kita tinggal. Lift ini akan mengantar Mas Hendry menuju tempat Mas Hendry seharusnya PULANG. Mas Hendry mau kan? Mas Hendry ikhlas kan?”, ujar Yus ketika pintu lift di depan mereka terbuka. Hendry hanya bisa menghela napas lalu mengangguk.

“Masuklah Mas Hendry... Selamat Jalan......”. Hendry lalu melangkah masuk ke dalam lift itu. Mencoba tetap tenang dan tidak bertanya lagi, walau apa pun yang akan terjadi lagi.

“Terima kasih Mas Yus.....”. Yus sempat tersenyum dan mengangguk ke arahnya. Sebelum akhirnya pintu lift menutup, lalu bergerak ke arah atas. Pergi menembus ujung atap apartemen yang paling tinggi. Menembus langit. Terus naik menuju hamparan awan putih dan cahaya. Terus ke atas, menuju lantai tempat jiwa-jiwa yang telah damai dan ikhlas. PULANG kepada NYA......


No comments:

Post a Comment