Monday, October 15, 2018

MEMBUKA MATA KETIGA



SIDE STORY - MEMBUKA MATA KETIGA PART 1
Badan Tinus bergerak sendiri. Meronta dan berontak. Tidak dapat mengontrol dirinya. Dirinya sadar, kalau mulutnya sebenarnya berteriak nyaring. Tapi entah kenapa dirinya tidak mampu mendengar teriakan nya sendiri. Dirinya tidak perduli, kalau di badan nya masih terpasang penyangga tulang. Alat itu untuk meluruskan tulang belakang nya yang retak. Rasa sakit itu tidak diperdulikan. Pikiran nya hanya tertuju pada Rica kekasihnya. Hari itu kekasihnya akan dibawa pulang ke kampung halaman nya di Medan. Untuk kemudian disemayamkan dan dimakamkan.

Jika tidak bisa bertemu hari itu, Tinus tidak akan pernah lagi bisa melihat Rica untuk selamanya. Sebentar saja dirinya ingin melihat Rica untuk terakhir kali nya. Walau sebentar. Walau sekejap. Ingin memeluknya untuk terakhir kali.

Beberapa pikiran mengkhianati sisi waras dan logika nya. Entah darimana pikiran itu tiba-tiba berlompatan di dalam kepala nya. Rica belum mati. Dirinya masih merasakan nafas Rica. Nafas itu masih dirasakan nya, saat kemarin dirinya memeluk tubuh Rica, dalam perjalanan dari Jalan Raya Salatiga menuju Rumah Sakit. Nafas itu terdengar pelan, walaupun terputus-putus. Tidak. Rica masih hidup. Dirinya tidak boleh dimakamkan. Dia akan sendirian dalam liang kubur. Kesepian dan sendirian. Biar Aku yang menemaninya. Biarkan Aku bersama nya. Pikiran-pikiran itu silih berganti berteriak, mencoba menghasut Tinus untuk melupakan sisi warasnya. Mungkin inilah yang disebut gejala gangguan kejiwaan. Sakit jiwa yang muncul karena tidak bisa menerima kenyataan akibat sebuah kejadian yang tiba-tiba.

Tubuh Tinus baru tergolek setelah dokter menyuntiknya dengan zat penenang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat dengan sobekan kain dan perban, di palang besi pinggiran tempat tidur rumah sakit. Untuk mencegahnya kembali berontak dan meronta. Tinuspun tadi nya tidak ingin bergerak meronta sebelumnya. Hanya saja entah kenapa saat mendengar jenazah Rica sudah selesai dimandikan dan siap dibawa ke Medan. Tubuhnya seperti tidak bisa menahan diri. Spontan tiba-tiba berteriak memanggil nama Rica dan menangis. Seolah sadar, kalau itu tanda bahwa dirinya tidak akan bisa melihat Rica lagi selama-lamanya.

Zat yang disuntikkan dokter dengan cepat bereaksi. Membungkam kesadaran nya.Membuat pikiran nya terbang sesaat. Melayang sampai akhirnya hinggap dalam potongan-potongan ingatan yang ada di dalam kepalanya. Mengolahnya menjadi mimpi yang mengisi alam tidurnya. Membuatnya seolah melintasi kembali waktu yang telah lewat.

Dirinya datang dengan Rica waktu itu ke sebuah warung Pecel Lele yang letaknya tidak jauh dari Kampus. Yus datang beberapa menit kemudian. Dirinya baru saja selesai kuliah Hukum Pemerintahan Pusat. Tumben hari itu Yus datang sendiri. Biasanya Yus datang dengan seorang wanita yang sering diajaknya jalan kemana-mana. Namun setelah acara Makrab di Kaliurang beberapa hari yang lalu. Yus saat ini tampak lebih sering kemana-mana sendiri.

“Tolong ya Yus ya....... please...... pinjam sehariiiii saja...... besok sebelum maghrib pasti sudah dikembalikan kok......”. Yus memandang Tinus dengan tatapan ragu. Tangan nya membuat gerakan menggaruk-garuk kepalanya. Itu tindakan spontan orang yang ragu atau sedang bingung. Menimbang-nimbang antara setuju atau tidak.

“Iya Kak Yus..... Tolonglah...... soalnya udangan buat pembicara nya musti dikirim besok ke Undip. Seminar nasionalnya tinggal minggu depan. Waktunya mepet kalau ditunda-tunda. Anggaran panitia nya juga mepet. Tidak ada anggaran buat beli tiket atau transport ke Semarang”. Rica dengan wajah imutnya membantu Tinus untuk memelas.

“Tapi perjalanan ke Yogya Semarang tu jauh Tin...... lagi pula resiko juga kan kalau naik motor?”. Untuk kesekian kalinya Yus mencoba menyampaikan ketidaksetujuan nya. Lagi pula dia tahu reputasi Tinus dalam hal berkendara. Belum ada yang bisa mengalahkan rekor Tinus dalam hal waktu tempuh Jogja Semarang menggunakan motor. 1 Jam 58 menit. Tinus memang terkenal sebagai alap-alap jalanan.

Tapi bukan itu yang mengganggu pikiran Yus. Cara Tinus berkendara sama sekali jauh dari kesan safety. Berulangkali Tinus berurusan dengan polisi karena cara berkendaranya yang ugal-ugalan dan membahayakan. Tidak hanya dirinya tetapi juga pengguna jalan lain. Walaupun sampai saat ini Tinus belum pernah sampai kecelakaan atau tabrakan di jalan

“Aahhh... kan dah biasa Yus...... Dulu waktu turnamen game di Semarang, jaman kita masuk kualifikasi. Buktinya aman-aman aja kok. Padahal seminggu bisa bolak-balik sampai 2-3 kali. Tolong lah Yus. Masak sama temen kamu tega sih? Lagi pula cuma sekali ini saja. Aku janji dah.......”. Tinus dengan gaya tengilnya masih berusaha meyakinkan Yus. Yus mencoba mengalihkan perhatian nya pada piring nasi goreng dan ayam goreng sambal matah yang ada dihadapan nya. Dia tahu traktiran dari Rica dan Tinus malam itu hanya untuk menyogoknya.

“Tolong ya Kak Yuuusss... Pleaseeee.....”. Sekali lagi Rica berusaha membantu mempengaruhi dan membantu Tinus supaya Yus meluluskan permintaan mereka. Sebetulnya bukan rayuan Tinus yang membuat Yus hampir luluh. Justru wajah imut Rica yang dari tadi hampir membuat pikiran Yus luluh. Yus sebenarnya tidak habis pikir. Bagaimana cewek seimut dan semanis Rica bisa suka pada Tinus yang tengil, urakan dan berantakan. Tinus itu terkenal sebagai aktivis di pergerakan mahasiswa di kampus. Kuliahnya tertinggal hampir 2 semester, gara-gara sibuk demo dan melibatkan diri di parlemen jalanan.

Tinus yang berambut gondrong, muka pas-pas an dan jarang mandi, bisa merebut hati Rica yang manis dan berwajah semi oriental. Kulitnya putih. Gaya bicaranya lincah namun pemalu. Rambutnya selalu dikepang ekor kuda. Berkaca mata dengan tinggi tubuh sekitar 157 cm. Badan nya kecil namun padat. Dan yang pasti penampilan nya wangi dan rapi. Dengan aroma minyak wangi Pucelle khas ABG. Rica lebih sering tampil menggunakan rok panjang dengan kemeja lengan pendek khas cewek warnah merah jambu. Sebentuk pita besar warna merah selalu menghiasi kunciran rambutnya. Seperti seeekor kupu-kupu besar yang hinggap di atas kepala nya.

Berbeda dengan Tinus yang lebih suka menggunakan kaos oblong hitam bergambar Che Guevara dan celana Jeans sobek-sobek. Yang jelas hanya pernah diganti seminggu sekali. Lagipula Tinus jarang mandi. Rambutnya keriting gondrong bergelombang, cenderung kribo. Juga jarang dikeramasi. Jangan ditanya bagaimana bau nya. Gosipnya Tinus juga jarang keramas gara-gara berternak kecoak di rambutnya.

Entah kenapa dua insan yang bertolak belakang ini bisa saling suka. Mungkin seperti hal nya mahasiswa dan mahasiswi lain nya yang jadi dekat dan jadian gara-gara sama-sama jadi panitia kegiatan mahasiswa. Rica dan Tinus memang jadi dekat setelah mereka sama-sama ikut dalam satu kepanitian Makrab kemarin. Setelah itu mereka jadi seperti tak terpisahkan. Hubungan mereka baru berjalan 4 bulan. Baru memang, dan sedang panas-panas nya. Siapa pun yang melihat Tinus pasti akan iri bisa mendapatkan Rica. Tidak ada yang rela. Gosipnya dulu banyak laki-laki yang coba berusaha mendekati Rica. Namun entah kenapa Rica malah menjatuhkan pilihan nya pada Tinus. Cinta memang buta, tapi hati yang mellihat.

“ Ya udah nih.....”. Yus menyodorkan kunci motornya kepada Tinus. Sekejap kemudian Tinus langsung sumringah. Sementara Rica menarik napas lega. Hari itu memang Tinus meminta Yus datang ke warung Pecel Lele Sedap Malam sore itu untuk meminjam motor. Motor Tinus sedang disita oleh Orang Tua nya gara-gara kuliahnya terbengkalai. Sedangkan Tinus dan Rica ada keperluan untuk pergi ke Semarang untuk mencari dan menemui narasumber.

Tinus dan Rica memang sedang terlibat dalam sebuah kepanitian Seminar Nasional di Kampus. Sebuah kegiatan mahasiswa yang lumayan prestisius dan ambisius. Kebetulan Tinus sebagai Ketua Panitia nya. Dan sampai hari ini narasumber yang didapuk belum memberikan persetujuan. Harus didatangi dan dilakukan pendekatan secara langsung supaya pembicara itu mau datang sepertinya. Untuk itulah mereka harus pergi ke Semarang besok dan meminjam motor. Anggaran yang terbatas tidak memungkinkan panitia untuk sekedar mendapatkan transport dan membeli tiket untuk berpergian. Terpaksa mengandalkan kendaraan pribadi.

“Tapi Tin... tolong diingat. Seandainya besok saat perjalanan tiba-tiba hujan turun. Tolong berhenti dan jangan melanjutkan perjalanan..... Ingat ya.....”. Nada suara Yus tiba-tiba terdengar serius. Dari wajahnya sepertinya dirinya masih setengah hati merelakan motornya untuk dipinjam.

“Oke Bro... santai dikit laahhh......”. Tinus lag-lagi dengan nada tengil merespon perkataan Yus. Tangan Tinus lalu berusaha mengambil kunci motor yang tadi disodorkan Yus di atas meja. Namun mendadak kemudian tangan Yus meraih pergelangan tangan Tinus dan mencengkeramnya dengan kuat. Seakan ingin memperingatkan bahwa kata-katanya jangan dianggap remeh.

“Serius.... jangan pernah lanjutkan perjalanan, kalau hujan turun. Barang setetes pun......”. Mata Yus menatap tajam ke arah Tinus. Tinus sampai bengong dibuatnya. Sekian lama Tinus mengenal Yus, jarang dilihatnya Yus sampai begitu serius dengan kata-kata nya.

“Okeee.... Oke Bro....... Aku janji.........”. Perlahan Yus lalu melepaskan pergelangan tangan Tinus. Lalu akhirnya mengalihkan pandangan nya pada nasi goreng dan ayam goreng sambal matah yang ada di meja, lalu mulai memakan nya. Tinus dan Rica berbarengan menarik napas lega dan berpandangan. Yang penting tujuan hari itu tercapai. Yus akhirnya meminjamkan motornya untuk mereka.

Hujan rintik dan bau tanah basah. Menyadarkan Tinus dari mimpinya barusan. Sinar putih dari lampu neon di langit-langit rumah sakit menyambutnya di alam sadar. Suasana begitu sunyi. Bahkan tetesan air infus yang tergantung di sebelahnya sampai terdengar. Mimpinya barusan membuat air matanya kembali meleleh. Rica..... Rica..... Tanpa henti Tinus menyebut nama itu. Tatapan nya menatap kosong ke arah lampu neon warna putih yang ada di atasnya. 

Entah darimana datang nya seekor kupu-kupu warna ungu gelap bersayap lebar terbang berputar di atas nya. Gerakan nya lambat namun anggun, terbang dengan pelan dan sesaat berkeliling dekat tempat tidur Tinus. Mata Tinus tertuju pada kupu-kupu itu, dan sesaat kemudian Tinus mencium aroma minyak wangi Pucelle. Aroma wangi yang menjadi ciri khas Rica. Sepertinya berasal dari kupu-kupu itu. Namun bagaimana mungkin? Sesaat Tinus merasakan Rica sedang berada di dekatnya. Mencoba untuk menghiburnya dan memintanya jangan bersedih.

“Cinta.... Cepat sembuh yaaa....... ”. Cinta. Itu sebutan yang sering digunakan Rica untuk memanggilnya. Entah kenapa Tinus merasa mendengar suara Rica. Jelas sekali. Seperti Rica sendiri yang bebicara pada nya. Entah halusinasi atau bukan. Tinus melihat kupu-kupu itu berubah menjadi sebentuk siluet perempuan menggunakan gaun putih. Wajahnya tidak begitu jelas karena seperti tertutup selubung kuning bercahaya. Rambutnya indah mengembang terurai. Posturnya pendek kecil. Hati Tinus langsung bisa merasakan bahwa itu Rica.

Tinus berusaha mengangkat tangan nya. Dengan susah payah dirinya berusaha mengarahkan tangan nya pada siluet bercahaya yang duduk dekat tidak jauh dari nya. Dan seperti nya siluet cahaya itu juga mengulurkan tangan nya ke arah Tinus. Terasa sebuah aliran udara hangat memasuki pori-pori nya. Seperti dekapan tangan Rica yang selalu memeluk tangan nya kalau mereka jalan berdua. Seluruh ingatan itu lagi-lagi membuat air matanya kembali jatuh.

Lama kejadian itu berlangsung. Sampai akhirnya Tinus tertidur karena lelah menangis. Dalam tidurnya lagi-lagi sepotong ingatan hadir sebagai mimpi yang mengisi. Kali itu dirinya dan Rica berada di atas motor. Dirinya memacu motor dengan kecepatan tinggi seperti biasa. Mereka berdua dalam perjalanan pulang dari Semarang menuju Jogja. Hujan rintik-rintik turun. Tidak begitu deras. Tinus masih merasa yakin dengan jarak pandang nya. Saat ini dirinya berada di jalur jalan raya Salatiga Jogja. Tinggal sedikit lagi sampai. Tanggung pikirnya. Dirinya sudah lupa dengan pesan Yus kala itu.

Tinus menambah kecepatan. Tangan Rica melingkar semakin erat di pinggangnya. Jaket yang mereka kenakan sudah basah ditimpa hujan. Dalam keadaan hujan dan agak berangin seperti ini, entah kenapa kendaraan-kendaraan lain juga ikut tidak mau kalah memacu kecepatan nya. Membuat adrenalin Tinus tidak mau kalah dan tanpa sadar semakin memacu motornya lebih kencang. Tinus sedikit merasa tubuh Rica dibelakang nya agak menggigil. Sepertinya Rica kedinginan . Bukan nya berhenti sejenak, Tinus malah berpikir kalau dirinya harus lebih cepat lagi supaya bisa lekas sampai.

Tinus mulai melakukan aksinya, menyalip kendaraan dan bergerak dari kanan ke kiri dengan gaya zig-zag. Tidak sedikitpun mengurangi tarikan gas dan persenelingnya. Setiap kendaraan di depan nya adalah pesaingnya. Teringat rekor nya yang belum pernah terpatahkan. 1 Jam 58 menit. Bukan kah rekor dibuat untuk dipatahkan? Ego nya mulai mengembang. Semakin membuat kecepatan nya beringas. Konstan di angka 120 km/jam. Tidak ada yang boleh menghalanginya.

Saat kemudian sebuah mobil Suzuki Vitara berada dalam posisi agak di tengah. Menutupi jalan. Membuat kecepatan motor yang dikendarainya berkurang. Tinus tidak suka. Dilihatnya sisi jalur yang berlawanan agak longgar. Dirinya hanya perlu melebar dan sedikit mengambil jalur yang berlawanan sebentar, lalu kembali lagi ke jalur semula. Dirinya lalu memutuskan mencoba menarik gas lebih dalam lagi dan berusaha menyalip mobil Suzuki Vitara yang ada di depan nya. Dipikirnya mobil Suzuki Vitara itu berjalan pelan dan dengan mudah bisa disalip. Sayangnya dirinya salah perkiraan. 

Rencananya tidak berjalan mulus. Tarikan gas nya tidak mampu melewati mobil Suzuki Vitara di sebelah kirinya. Sementara dari arah jalur berlawanan, sebuah bis besar dengan kecepatan tinggi melaju kencang. Bukan nya mengurangi kecepatan dan mengalah Tinus malah berusaha mendahulu mobil Suzuki Vitara yang ada di sebelah kirinya. Usahanya berhasil. Motonya sedikit bisa mendahului mobil itu. Secepatnya dirinya mengambil jalur kembali di posisi yang semestinya dan menjauhi jalur yang berlawanan. Tepat sepersekian detik sebelum moncong bis besar itu menyentuhnya. 

Naas nya, Tinus salah perkiraan. Bagian belakang motornya belum sepenuh berhasil mendahului mobil Suzuki Vitara itu. Membuat bagian samping kiri belakang motor nya mengenai moncong mobil itu. Mobil itu sempat mengerem. Namun motor yang dinaiki Tinus dan Rica terlanjur oleng sampai akhirnya terpental. Tinus yang berada di depan terlempar ke depan. Dadanya sempat menghantam bagian stang motor dan membuatnya remuk, sampai kemudian terlempar ke depan dan jatuh berdebam di atas aspal. Terseret sampai ke pinggir bahu jalan sebelah kiri. Bagian tulang belakang nya langsung retak saat tubuhnya jatuh diterima aspal.

Sementara Rica yang duduk di belakang, tubuhnya malah terlempar ke arah jalur yang berlawanan. Jatuh terguling di aspal sampai akhirnya sebuah mobil sedan menyambutnya. Melindas tubuh kecilnya dengan kecepatan tinggi. Mobil sedan itu langsung melarikan diri begitu sadar kalau dirinya melindas Rica. Kesadaran Tinus sempat hilang sesaat. Samar-samar dilihatnya orang-orang menghentikan kendaraan mereka dan turun menolongnya. Tinus sempat meminta orang-orang untuk menolong Rica dan memastikan keadaan nya. Tinus sempat melihat tubuh Rica sudah tidak berdaya, dan darah keluar meleleh dari mulutnya.

Sebuah mobil pick up dihentikan orang-orang yang menolong Tinus dan Rica. Tinus masih sempat berteriak kepada pengemudi pick up itu agar segera menjalan kan kendaraan nya dan membawa Rica ke rumah sakit. Dirinya masih sadar walaupun dengan kondisi tubuh yang sakit luar biasa. Kecemasan dan kekhawatiran nya pada nyawa Rica membuat nya tetap tersadar selama di bak pick up itu. 

Tinus memeluk tubuh Rica erat. Dirasakan nya dada Rica masih bergerak naik turun lemah. Napas nya agak terputus-putus dan semakin pelan. Tinus hanya bisa menangis sambil berusaha memanggil-manggil nama Rica. Berharap usaha nya itu mampu membuat nyawa Rica tetap menempel di tubuhnya. Sempat dirinya mendengar Rica berusaha bicara padanya.

SIDE STORY - MEMBUKA MATA KETIGA PART 2

“Kaak.... Sakit Kak..... Sakit......”. Rica merintih pelan. Tinus tidak mampu berkata apa-apa lagi. Dirinya hanya bisa menenangkan Rica dan memohon berteriak pada sopir pick up itu. Agar lebih cepat sedikit. Bergegas membawa Rica dan dirinya ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapatkan pertolongan. Dilihatnya mulut Rica tidak berhenti mengeluarkan darah. Semakin lama semakin banyak. 

Belum sampai di rumah sakit Tinus sudah kehilangan kesadaran duluan. Saat sadar, dirinya sudah berada di ruangan ICU. Beberapa teman kuliah sudah datang menengoknya. Dan saat itu juga, Tinus mendapat kabar kalau Rica sudah ada di kamar jenazah.

Tinus terbangun dari tidurnya bagaikan tersadar dari mimpi buruk. Sinar matahari yang terang masuk menerobos jendela rumah sakit tempatnya di rawat. Di sebelahnya sudah ada Yus dan Mbak Lova, Kakak kelasnya yang juga Kakak angkat Rica. Mbak Lova memang satu kos dengan Rica. Kedekatan mereka akhirnya membuat hubungan mereka jadi seperti Kakak Adik. Kepada dua orang itu Tinus merasa sangat bersalah. Kalau Mbak Lova karena telah membuat nya kehilangan Rica, sedangkan kalau Yus karena telah membuatnya kehilangan motornya.

“Yus.... Maaf Yus..... Gara-gara Aku, motor mu.....”. Tinus tidak mampu meneruskan kata-kata nya. Dirinya terlalu malu gara-gara rasa bersalah.

“Sudah Tin.... Nggak apa-apa..... Kebetulan itu motor diasuransiin kok”. Yus menjawab ringan. Ekspresinya tampak datar, tanpa ada kesan marah atau tidak terima. Sebaliknya malah berusaha menenangkan dan menjaga perasaan Tinus.

“Mbak Lova.... Rica.....”. Entah kenapa setiap menyebut nama itu, Air mata Tinus kembali meleleh. Mbak Lova juga tampaknya masih sangat terpukul dengan kepergian Rica. Namun sikap Mbak Lova tampak lebih dewasa. Berusaha menerima semua kejadian ini sebagai sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Iya Tin.... Rica sudah dibawa kemarin ke Medan. Dimakamkan di sana. Sudah lah, yang berlalu biarlah berlalu. Ini sudah jalan nya. Yang penting sekarang kamu nya Tin. Cepat pulih. Sehat kembali”. Mata Tinus kembali berkaca-kaca. Satu sisi lega, sekaligus terharu dengan kebesaran hati Yus dan Mbak Lova.

Tinus menceritakan semuanya. Bagaimana kejadiaan naas itu terjadi. Bagaimana menyesalnya hidupnya saat ini. Yus dan Mbak Lova hanya bisa mendengarkan. Mereka berdua tahu kalau Tinus perlu menceritakan semuanya. Supaya segala beban dan kegelisahan nya setidaknya berkurang. Selesai menceritakan semuanya mata Tinus kembali menerawang. Menatap kosong ke depan. Kadang dirinya masih tidak percaya begini jadinya. Seandainya dirinya waktu itu tidak mengajak Rica. Seandainya waktu itu dirinya memilih untuk tidak ke Semarang. Seandainya waktu itu dirinya lebih berhati-hati. Seandainya..... Seandainya......

“Aku kadang masih merasakan Rica ada di dekatku Yus.... Kemarin tiba-tiba ada seekor kupu-kupu masuk ke kamar ini. Kayaknya itu memang dia. Habis itu Aku bisa mencium baunya. Walaupun nggak kelihatan, tapi Aku tahu dia datang......”. Kata-kata Tinus membuat Yus hanya menghela napas. Siapapun yang mendengar nya pasti akan merasa miris. Mata Mbak Lova sampai berkaca-kaca mendengarnya.

“Mungkin memang dia mampir datang nengokin kamu Tin. Pengen ngobrol kayak dulu mungkin.....”.Sebenarnya Mbak Lova hanya bermaksud menghibur, tetapi Tinus malah menanggapinya serius. Tinus malah balik bertanya

“Lho? Bukan nya kalau meninggal biasanya langsung ke surga atau neraka ya Mbak?”. Tinus bertanya heran. Sedangkan Mbak Lova malah gelagapan. Tidak siap dengan pertanyaan Tinus. Dipikirnya Tinus tidak akan sampai bertanya seperti itu.

“Ehh... Emmm..... katanya sih kalau sebelum 40 hari orang yang meninggal biasanya jiwa nya masih ada di alam manusia Tin. Nggak langsung pindah ke sana......”. Mbak lova coba menjelaskan sebisanya. Walaupun pikiran nya sebenarnya kurang yakin juga dengan kata-katanya

“Masak sih Mbak? Emang bener kayak begitu? Mbak tahu darimana?”. Tinus malah ingin kembali diyakinkan. Satu sisi memang terlihat dirinya sangat berharap. Keinginan nya untuk bisa kembali bertemu dan melihat Rica tampak dari tatapan matanya.

“Kata nya Aku punya Eyang sih begitu. Dia pernah cerita seperti itu. Mangkanya kalau tradisi Jawa ada 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Itu untuk menandakan proses perpindahan nya. Jadi memang nggak langsung pindah. Tanya aja Si Yus tu kalau nggak percaya. Dia kan Dukun.......”. Yus cuma bisa melotot ke arah Mbak Lova. Sepertinya kurang begitu suka dengan julukan yang diberikan.

“Tapi Aku juga pernah dengar dari Adi, waktu ikut bantu-bantu panitia Makrab di Kaliurang. Katanya memang kamu bisa lihat makhluk halus ya? Indigo.... indigo begitu ya? Emang bener itu Yus?”. Tinus mulai jadi ikut bertanya. Pertanyaan itu membuat Yus jadi agak terpojok. Sangat terlihat dia sama sekali kurang nyaman dengan pertanyaan itu.

“Nggak kok.... itu cuma gosip..”. Tukas Yus pendek. Dia seperti tidak mau memperpanjang pembicaraan. Namun hal itu malah justru membuatnya terlihat menutupi sesuatu.

“Tapi Aku pernah lihat pas Makrab, kamu kan sempat bantu nyembuhin orang-orang yang kesurupan juga kayaknya. Nggak mungkin kamu bisa nyembuhin orang-orang itu kalau kamu nggak punya kemampuan apa-apa Yus.....”. Pertanyaan Tinus cukup telak. Yus tidak mampu mengelak lagi. Lagi pula sepertinya memang tidak ada yang perlu ditutupi.

“Yaaa... nggak yang gimana-gimana kok. Cuma memang dari kecil suka bisa lihat yang begitu-begitu. Cuma itu. Mending bahas yang lain. Buat apa juga yang begitu dibahas....”. Yus berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut dari pertanyaan Tinus. Sepertinya dia paham kalau hal itu malah akan menjadi pembahasan yang panjang nantinya.

“Kalau begitu kira-kira apakah Rica masih ada di sini Yus?”. Pertanyaan Tinus kali ini membuat Yus terdiam. Seperti serba salah. Bingung mau menjawab apa.

“Yus... tolong jujur Yus....... tolong bilang yang sebenarnya.... Apakah Rica ada di dekat kita sekarang?”. Yus masih terdiam. Malah mengarahkan pandangan nya ke Mbak Lova. Seolah meminta bantuan dan petunjuk. Bagaimana dirinya harus menjawab.

“Sudah Yus dijawab saja apa ada nya. Apa pun jawaban mu kita percaya kok”. Jawaban Mbak Lova jelas tidak membantu. Yus jadi tidak enak hati. Bagaimanapun dirinya menghargai prinsip pertemanan. Pelan kemudian Yus mengangguk.

“Iya... dia masih di sini....”. Jawaban Yus tidak hanya membuat mata Tinus kembali berkaca-kaca, namun Mbak Lova pun juga sampai hampir menangis. Yus lalu memandang ke arah sebuah kursi kosong yang terletak tidak jauh dari tempat tidur Tinus. Melihatnya seakan dirinya memperhatikan seseorang yang sedang duduk di situ. 

“Dia ada di sana........”. Tinus malah menangis semakin sesenggukan mendengar kata-kata Yus. Mbak Lova sampai turut menenangkan nya sambil ikut menangis. Tangan Tinus sesekali membuat gerakan memukul-mukul dadanya sendiri. Menunjukkan penyesalan nya yang sangat dalam.

“Tolong Yus, tolong..... kamu bisa ajarin Aku supaya bisa lihat kayak kamu? Aku pingin lihat dia Yus. Walau sebentar, ijinin Aku buat lihat dia sekaliii saja Yus. Aku pingin lihat dia. Pengen ketemu dan ngomong kalau Aku nggak akan pernah lupain dia......”. Tiba-tiba Tinus mencengkeram tangan Yus erat. Dirinya berusaha memohon sekuat tenaga, supaya Yus mengabulkan permohonannya.

“Aku... Aku nggak bisa Tin......”. Yus berusaha menolak permintaan Tinus dengan halus. Tangan nya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Tinus.

“Tolong Yus..... tolong....... Aku tahu kamu bisa. Aku pernah lihat di acara TV. Orang-orang kayak kamu punya kemampuan membuat orang lain bisa melihat yang nggak kelihatan. Kamu pasti bisa Yus... Please......”. Tinus mulai agak memaksa. Sepertinya hasratnya untuk bisa melihat Rica lagi begitu besar. Malah seperti orang yang setengah lupa diri.

“Jangan Tin.... jangan.... Kamu nggak tahu dampaknya bakal seperti apa......”. Yus berusaha menyadarkan Tinus. Mencoba menjelaskan bahwa apa yang diminta nya itu bukan sesuatu yang worth it dengan resiko nya.

“Tolong Yus... tolong.... Aku bakal bayar berapa pun yang kamu minta. Kalau perlu Aku tukar tambah motor mu yang rusak sama Moge ku. Aku kasih buat kamu. Atau apa pun yang kamu minta Yus. Tapi tolong. Bantu Aku supaya bisa lihat Rica, Ajarin Aku caranya Yus.....”. Yus dengan keras menarik tangan nya. Melepaskan nya dari tangan Tinus. Membuat Tinus langsung tertunduk dan kembali sesenggukan. Yus sebenarnya tidak tega melihatnya. Tapi permintaan Tinus jelas merupakan permintaan yang absurd. 

“Sori Tin, Aku nggak bisa....”. Yus lalu pamit duluan dan meninggalkan Tinus dan Mbak Lova berdua. Keluar dari kamar bangsal itu sebelum Tinus kembali meracau dan memaksanya lagi. Ada perasaan tidak enak sebenarnya yang menggelayuti pikiran Yus. Namun dirinya memaksa tidak menghiraukan nya.

Keesokan harinya sehabis kuliah hukum perdata islam, ternyata Mbak Lova sudah menunggu Yus di depan ruang kuliah. Sepertinya ingin membicarakan suatu hal.

“Yus bisa ikut sebentar? Penting...”. Mbak Lova lalu menunjukkan sebuah pesan SMS dari sebuah nomor, yang katanya mengaku sebagai Kakak dari Tinus. Orang itu mengajak untuk bertemu di warung Bakso Pak Pri di Kantin kampus Sanata Dharma (Sadhar). Kebetulan kampus Atma Jaya tempat Yus dan Mbak Lova Kuliah, tidak terlalu jauh jaraknya dari Kampus Sanata Dharma. Hanya tinggal menyeberang jalan saja. 

“Ya sudah yuk kita ke sana....”. Yus lalu mengiyakan ajakan itu. Ternyata di sana sudah menunggu Kak Karmel. Dia Kakaknya Tinus. Kak Karmel ternyata mahasiswi tingkat lanjut Jurusan Bahasa Inggris di Kampus Sadhar. Sebentar lagi dia wisuda. Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak, Kak Karmel menjelaskan maksud nya mengajak Yus dan Mbak Lova bertemu

“Jadi kemarin Tinus berusaha bunuh diri. Dia sengaja memecahkan gelas kaca untuk dia minum lalu menyayat nadinya. Untung perawat langsung datang dan memeriksa nya. Tinus bisa diselamatkan. Tapi yang jelas Kakak khawatir dia bakal melakukan nya lagi”. Cerita Kak Karmel jelas membuat Yus dan Mbak Lova terkejut. Tidak menyangka kalau Tinus akan berbuat senekat itu.

“Akhirnya semalam Kakak ajak dia ngobrol. Dia bilang pingin sekali melihat dan bertemu Rica. Dia bilang untuk Kakak menyampaikan ini terutama sama Yus. Tolong Tinus dibantu supaya bisa melihat Rica”. Yus hanya bisa mengucap sumpah-serapah dalam hati. Teman nya yang bernama Tinus itu memang tidak pernah belajar menjadi dewasa. Selalu saja menyusahkan orang lain dan menyusahkan dirinya sendiri. Kembali Yus bingung harus berbuat apa. Sebodo amat sebenarnya kalau Tinus mau bunuh diri, tapi satu sisi dirinya memang tidak tega. Satu hal juga permintaan itu juga beresiko tinggi. Bagaikan buah simalakama.

Tiga hari berselang, Yus kembali datang ke rumah sakit menjenguk Tinus. Dirinya menyusuri bangsal dengan langkah malas. Rumah sakit bukanlah tempat yang disenangi nya. Karena di tempat itu dirinya banyak sekali melihat penampakan. Seandainya bukan karena terpaksa, dirinya tidak akan datang hari itu ke rumah sakit Bethesda tempat Tinus dirawat. Sengaja diri nya hari itu datang sendiri. Dirinya ingin bicara empat mata dengan Tinus.

Pintu kamar tempat Tinus dirawat dibiarkan setengah terbuka. Sepertinya memang sengaja dibuat seperti itu agar jika terjadi apa-apa, orang yang berada di luar bisa segera mengetahui. 

Pelan Yus membuka pintu kamar itu dan melongok ke dalam. Terlihat Tinus tergolek di tempat tidur dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Dadanya bergerak naik turun lemah, dengan kepala menoleh ke samping. Tatapan nya kosong tanpa ekspresi. Mengarah pada bangku kosong yang berada di dekat tempat tidurnya. Seolah berusaha dan berharap dapat melihat sesuatu di bangku yang ada disebelahnya itu. Mencari secercah asa untuk melihat penampakan Rica yang tidak dapat dijangkau oleh mata nya.

Saat Yus memasuki ruangan, Tinus seperti tersadar. Sejenak kemudian tersenyum memandang ke arah Yus. Orang yang dinanti-nantikan nya akhirnya hadir.

“Yus, akhirnya kamu datang juga...”. Kata-kata Tinus itu tidak ditanggapi oleh Yus. Dengan wajah dingin, Yus melepaskan ikatan kaki dan tangan Tinus dari ikatan perban dan kain yang melilit di pinggir tempat tidur. Ikatan itu memang kemarin sengaja kembali dipasang, namun bukan karena Tinus berteriak-teriak dan mengamuk. Ikatan itu sengaja dibuat karena Tinus sudah 3 kali berusaha bunuh diri. Mulai dari dengan menyayat nadinya menggunakan pecahan kaca, sampai membentur-benturkan kepalanya sendiri ke tembok.

“Yus kamu mau bantu Aku kan? Kamu bisa ajarin Aku supaya Aku bisa lihat Rica? Kamu bisa bikin Aku lihat dia kan?”. Entah kenapa pertanyaan Tinus justru menyulut emosi Yus. Dengan satu gerakan Yus menarik dan mencengkeram bagian dada kaus berkerah yang dikenakan Tinus. Mata nya menatap tajam ke arah Tinus. Yus yang biasanya tenang dan kalem kali ini tampak marah sekali.

“Kamu itu nggak tahu apa-apa Tin....”. Kata Yus masih dengan posisi mencengkeram kerah baju Tinus. Nada suara nya seperti orang yang siap menghajar siapa pun yang ada di depan nya.

“Tapi.... tapi Aku lebih baik mati daripada menanggung semua ini Yus. Sekali saja Aku pingin lihat dia. Aku cuma pingin minta maaf. Aku cuma pingin bilang kalau Aku nggak akan melupakan dia seumur hidupku”. Mata Tinus untuk kesekian kali nya kembali berkaca-kaca. Tatapan Yus langsung melunak saat melihatnya. Berganti dengan ekspresi kebingungan dan galau. 

Yus melepaskan cengkeraman tangan nya dan menghempaskan tubuh Tinus ke kasur. Raut muka nya bingung bercampur kesal. Melemparkan pandangan nya ke arah lain dengan bimbang sambil berkacak pinggang. Berjalan acak ke segala arah dengan gelisah. Sulit mengambil sikap.

“Tolong Yus... sekali saja. Sebentar saja. Supaya Aku bisa move on. Aku janji akan lakukan apa pun yang kamu mau. Aku bakal turutin semua yang kamu bilang. Asal kamu mau ajarin dan bikin Aku bisa lihat yang kamu lihat....”. Yus menatap Tinus dengan ekor mata nya. Posisi tubuhnya membelakangi Tinus. Dirinya sengaja melakukan itu karena tidak ingin Tinus melihat wajahnya yang bingung karena serba salah. Sepertinya tidak ada pilihan.Yus hanya bisa menghela napas dan menghempaskan nya dengan berat

"Oke lah Tin, kalau itu memang mau mu....". Dengan berat hati Yus akhirnya menyetujui. Dirinya sadar, sudah terjebak oleh kemauan Tinus. 

“Tapi kamu harus janji Tin. Pertama jangan pernah coba-coba bunuh diri lagi. Kedua Aku hanya akan lakukan itu kalau kamu sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit”. Wajah Tinus mendadak sumringah. Secercah harapan yang diberikan membuat semangat hidupnya kembali. Seandainya dia bisa bangkit, ingin dirinya memeluk Yus dan berterima kasih. Mencium tangan nya sebagai tanda hormat dan kepatuhan

“Dan satu lagi. Secara resiko, Aku cuma bisa meminimalisir. Tapi secara prinsip, dirimu yang sepenuhnya menanggungnya bila ada”. Tinus sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud dari kata-kata itu. Namun dirinya dengan mantap mengiyakan dan tidak terlalu memikirkan nya

“Baik Yus... Aku setuju”. Yus mengulurkan tangan nya ke arah Tinus sebagai jabat tanda persetujuan. Dan Tinuspun membalas jabatan tangan itu erat-erat tanda dirinya pun setuju. 

Setelah itu semangat Tinus untuk sembuh meningkat drastis. Obat rajin diminumnya. Gairah makan nya juga meningkat. Padahal sebelumnya boro-boro dia menyantap makanan yang dihidangkan. Sampai pada saat terapi, untuk memulihkan fungsi tulang-tulang pergerakan nya pun semua dijalani dengan serius. Padahal terapi itu sangat berat dan menyakitkan. Tetapi semua dijalaninya tanpa mengeluh. Semangat dan tekadnya untuk sembuh luar biasa. Janji Yus yang dipegangnya untuk bisa membuatnya melihat Rica benar-benar membuat semangat hidupnya kembali 100%. Dokter yang merawatnya pun sampai dibuat geleng-geleng kepala dengan semangatnya. Sampai akhirnya Tinus diperbolehkan pulang, dan dokter menyatakan dirinya bisa beraktifitas seperti sedia kala.

SIDE STORY - MEMBUKA MATA KETIGA PART 3

Giliran Yus yang bingung setelah itu. Tinus menagih janjinya dan mengingatkan nya setiap waktu, di setiap ada kesempatan. Bahkan dengan sengaja menunggui Yus sampai selesai kuliah. Yus jelas risih, bahkan apa yang dilakukan Tinus tidak ubahnya seperti sedang meneror. Tinus dengan sengaja seperti mengikuti nya kemana pun Yus pergi. Lagi pula Yus khawatir kalau Tinus malah melakukan tindakan-tindakan nekat lagi.

“Ayolah Yus, kamu kan sudah janji. Kapan bisa dimulai? Tolong lah Yus. Aku hanya ingin lihat dia sekali saja Yus. Aku janji. Hanya sekali, walau sebentar, itu sudah cukup buatku....”. Itulah kata-kata yang sudah sering diucapkan oleh Tinus. Di setiap ada kesempatan. Setiap dirinya bertemu dan ada bersama Yus. Hanya hal itu yang dibahas nya. Tanpa bosan mengingatkan nya. Kapan pun, dimana pun. Jujur, itu semua membuat Yus terpojok. Apalagi Yus bukan orang yang suka Kardus, alias ingkar dan dusta. Sejak dulu Yus selalu berprinsip bahwa sifat seorang pria, dinilai dari ucapan nya. Dan dirinya sudah terlanjur berjanji. Apalagi dilihatnya Tinus sudah berjuang keras untuk pulih dan menepati perkataan nya. Kali ini giliran dirinya untuk menepati janji.

“Oke lah Tin, Sabtu minggu depan. Aku tunggu di depan kampus jam 17:00. Seminggu ini tiap jam 12:00 malam kamu minta sama Tuhan supaya bisa diijinkan melihat yang tidak kelihatan atau supaya bisa melihat Rica”. Tinus seketika bersemangat mendengarnya. Hari itu hari Rabu. Yus sebenarnya berusaha memikirkan tempat yang cocok. Dirinya butuh tempat yang sepi dan tidak banyak orang. Selain itu dirinya perlu mengajak satu orang lagi, untuk membantunya jika seandainya terjadi apa-apa. Sampai dengan hari Sabtu yang ditunggu-tunggu, Yus belum menemukan ide kira-kira dimana tempat yang aman. Entah kenapa dirinya malah teringat dengan Mbak Lova. Mbak Lova setiap weekend pasti pulang ke rumah orang tua nya di Wonosari. Yus terpikirkan untuk mengajak Tinus ke rumah Mbak Lova dulu di Wonosari.

“Kita kemana Yus?”. Tinus bertanya kepada Yus saat motor yang dikemudikan oleh Yus keluar dari parkiran kampus. Dirinya sebenarnya agak deg-deg an dan sama sekali tidak ada bayangan Yus akan melakukan apa pada dirinya hari itu.

“Kita ke Wonosari, ke tempatnya Mbak Lova”, ujar Yus disela-sela perjalanan. Perjalanan Jogja Wonosari tidak membutuhkan waktu lama. Hanya sejam lebih sedikit, mereka sudah sampai di kota Wonosari. Tepat waktu maghrib mereka sudah sampai di pusat kota Kabupaten Gunung Kidul itu. Mereka berdua langsung menuju ke rumah Mbak Lova. Mbak Lova sebelumnya sempat kaget karena Yus tidak memberitahu sebelumnya kalau mau datang. Apalagi dirinya datang bersama Tinus.

“Mbak, ada ide tempat yang sepi atau nggak banyak orang?”. Yus bertanya pada Mbak Lova setelah dirinya menceritkan rencana nya pada hari itu. Mbak Lova sebenarnya kaget ketika mendengar rencana Yus, tetapi satu sisi dirinya penasaran. Seperti apa yang akan terjadi kemudian.

“Coba di Pantai Ngobaran Yus. Di sana masih sepi.....”. Yus langsung setuju dengan tempat yang direkomendasikan oleh Mbak Lova. Yus memang butuh tempat yang sepi untuk berkonsentrasi, dan yang paling penting agar apa yang dilakukan nya tidak menarik perhatian orang banyak. Yus mencoba mempertimbangkan beberapa resiko yang akan terjadi. Tinus harus dijauhkan dari perhatian orang banyak untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Yus lalu juga mengajak Mbak Lova untuk ikut. Dirinya memang butuh satu orang untuk membantu nya. Mbak Lova pun setuju untuk ikut. Satu sisi selain karena dirinya penasaran, satu sisi juga karena dirinya merasa sudah terlibat semenjak awal pada saat menjenguk Tinus di rumah sakit bersama Yus.

Tinus, Yus dan Mbak Lova lalu akhirnya berangkat ke Pantai Ngobaran. Mbak Lova terpaksa membawa motor sendiri ke sana. Sesampainya di sana, sesuai dengan dugaan Mbak Lova, suasananya begitu sepi. Tak seorangpun tampak di sepanjang garis pantai itu. Yus lalu membuat sebuah lingkaran yang mengelilingi tubuh nya dan Tinus. Yus lalu mengeluarkan botol air mineral yang dibawanya dari dalam tas nya. Air di dalam botol itu telah dirajah oleh Pak Sam. Guru yang juga sekaligus pendamping spiritual Yus. Setelah itu Yus melilitkan sebuah kain kecil diujung telunjuknya.

“Tin kamu minum ini, habiskan.....”. Yus memberi perintah. Setelah Tinus menghabiskan isi botol itu, Yus lalu memerintahkan Mbak Lova untuk memegangi tangan Tinus. Yus lalu dengan keras menekan sebelah samping leher di bagian bawah dagu Tinus. Sementara Tangan kirinya yang ujung jarinya telah dililit kain kecil memaksa masuk ke dalam mulut Tinus. 

Membuka Mata Ketiga dengan paksa sebenarnya bisa dilakukan dengan menghilangkan selaput yang ada di kelenjar pineal, lalu mengaktifkan nya dengan bantuan energi prana ujung jari. Semua itu dilakukan lewat mulut atau oral. Cara ini masih dipergunakan sampai dengan saat ini oleh pendeta-pendeta di Tibet. Karena pengaktifan kelenjar Pineal dipercaya dapat meningkatkan kesadaran karena terbuka nya Mata Ketiga. Akhirnya setelah selesai dengan kelenjar pineal, Yus lalu menyalurkan energi nya dan mulai membuka cakra mahkota milik Tinus. Ternyata Cakra mahkota Tinus sudah terbuka dengan sendirinya. Mungkin akibat air yang sudah diminumnya sebelumnya.

Semua dilakukan Yus dengan cepat. Dirinya tahu apa yang dilakukan nya akan membuat Tinus kesakitan dan tidak nyaman. Yus lalu menyuruh Mbak Lova membiarkan Tinus dan melepaskan pergelangan tangan nya. Awalnya Tinus merasa pusing. Badannya berasa tidak karuan. Belum lagi sakit luar biasa pada bagian yang ditekan Yus tadi. Berulangkali Tinus harus meludah. Ludahnya kental bercampur darah. Yus lalu menempelkan tangan nya di punggung Tinus. Memberikan energi untuk sedikit menenangkannya.

“Tin sekarang fokus..... Tarik napas. Ayo Tin jangan dipikirkan sakitnya. Kamu ingin melihat Rica kan?”. Yus mencoba mengingatkan Tinus. Membuat Tinus berusaha menenangkan diri dan fokus. Mencoba mengatur napasnya kembali dan tidak memperdulikan sakitnya.

“Sekarang pelan-pelan buka mata kamu. Apa pun yang terjadi tetap tenang. Tetap di dekat Aku. Jangan jauh-jauh. Jangan sampai kamu keluar dari lingkaran ini”. Tinus lalu perlahan-lahan membuka mata nya. Awalnya tidak ada yang berbeda dari pandangannya yang sebelumnya. Sampai akhirnya dirinya melihat pandangan nya seperti diliputi kabut. Tinus lalu mencoba menajamkan pandangan nya ke depan. Di antara kabut itu lalu muncul sosok bayangan putih. Terlihat menonjol berdiri di sekeliling kabut yang ada di hadapan nya

“Yus... itu Rica?”. Tinus berusaha mengerjap-ngerjapkan mata nya. Memfokuskan pandangan nya ke depan. Siluet putih di depan nya semakin jelas. Membentuk sosok perempuan bertubuh padat dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya tergerai panjang sebahu. Wajahnya tidak begitu jelas terlihat

“Fokus Tin..... Lihat lebih jelas lagi”. Tinus mengikuti saran Yus. Kali ini sosok itu semakin terlihat jelas. Wajahnya pun akhirnya terlihat. Wajah imut polos yang sangat dikenalinya. Walaupun tampak terlihat sendu. Wajah yang sangat dirindukan dan didambakan nya.

“Yus, itu Rica... Rica”. Tinus bersorak girang. Prosesi pembukaan mata bantin nya sukses. Dirinya bisa melihat Rica. Rica yang sudah berbeda alam. Kini dapat dilihatnya dan berdiri di hadapan nya. Dadanya terasa menggebu oleh rindu yang tak tertahan. Berulangkali Tinus memanggil-manggil ke arah Rica.

“Kak Tinuusss....”. Dilihatnya Rica tampak melambai arahnya. Menyambut panggilan nya. Membuat Tinus menjadi seperti lupa diri. Ingin mendekat dan menghambur ke arah Rica. Namun Yus mencegahnya.

“Tinus.... jangan..... Jangan keluar dari lingkaran. Cukup lihat dari sini”. Yus berusaha memegang tangan Tinus erat-erat. Tidak membiarkannya keluar dari lingkaran dan berlari ke arah Rica.

“Lepasin Aku Yus. Itu Rica panggil-panggil Aku. Dia pingin Aku lihat lebih dekat lagi. Sebentar saja Yus. Aku pingin ketemu dia”. Tinus berusaha keras melepaskan diri dari Yus. Namun Yus tetap berusaha keras dan bersikeras menahan nya.

“Tin... JANGAN !!”.

BUG !!

Tadinya Mbak Lova berniat membantu Yus memegangi tangan Tinus. Namun Tinus keburu melayangkan sebuah pukulan ke arah Yus. Tepat mengenai dagu sebelah kirinya. Membuat Yus yang tidak siap sampai terjengkang ke belakang. Mbak Lova sampai terpekik kaget. Secepatnya memberikan pertolongan pada Yus. Sempat dilihatnya ada darah mengalir di sudut bibir Yus. 

Tinus dengan tidak sabar berlari ke arah sosok Rica. Yang tampak hanya berjarak sekitar 20 meter dari tempatnya berdiri tadi. Tidak memperdulikan Tinus yang tak sadarkan diri gara-gara pukulan nya. Tidak perduli dengan Mbak Lova yang berusaha berteriak-teriak memanggilnya, sambil berusaha menyadarkan Yus. Yang dipikirkan nya hanya Rica. Rica yang sangat ingin dilihatnya dan saat ini tampak dihadapan nya. Seperti juga menunggunya.

Saat ini sosok Rica sudah berdiri di hadapan nya. Menatap Tinus dengan wajah sendu nya. Tampak sedih. Ada seperti menangis, namun tanpa mengeluarkan air mata. Sukma memang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.

“Kak Tinus..... Rica rindu sekali Kak...”. Tinus bisa mendengar suara nya. Suara itu memang suara Rica. Sudah lama suara itu tidak didengarnya. Saat ini begitu menyayat rasanya bisa mendengar suara nya kembali. Dalam wujud seperti ini.

“Iya Rica... Aku juga rindu sama kamu. Aku kangen sekali.....”. Tinus mencoba berbicara pada sosok itu. Matanya berkaca-kaca. Tak mampu membendung air mata nya. Perjumpaan ini ternyata begitu menyakitkan. Tinus berusaha menggapa Rica. Ingin menyentuhnya. Tetapi ternyata tangan nya hanya seperti menyentuh angin. Rica sudah tidak mampu disentuhnya. Rica sudah berbeda alam dengan nya. Hal itu membuat hatinya semakin perih.

“Kak.... Rica cinta sama Kak Tinus.... Rica pengen kayak dulu. Sama Kak Tinus lagi”. Suara Rica terdengar semakin mengiris kalbu. Membuat Tinus makin berusaha mendekat ke arahnya. Air mata Tinus semakin deras mengalir. Terasa hawa dingin memancar dari sosok Rica. Tinus merasa hawa dingin itu seperti menyengat kulitnya.

“Rica.... Aku nggak akan lupain kamu. Cinta ini akan selalu ada buat kamu”. Nada suara Tinus tak kalah terdengar merintih. Dilihatnya wajah Rica mulai tertunduk. Seperti tak kuasa menatap Tinus karena begitu sedih.

“Kak Tinus beneran cinta sama Rica?”. Suara Rica seperti terisak, bertanya pada Tinus. Seperti ingin memastikan perkataan Tinus sebelumnya.

“Iya Ric... Iya.... Aku cinta sama kamu. Selamanya....”. Tinus cepat menjawab. Berharap Rica senang dengan jawaban nya. Ingin Tinus melihat Rica tersenyum di hadapan nya saat ini.

“Kalau begitu kenapa Kak Tinus buat Rica mati?”.Perkataan Rica membuat Tinus tercekat. Tidak disangkanya Rica akan bertanya seperti itu. Rica mulai mengangkat wajahnya perlahan. Matanya tajam menatap Tinus. Tidak ada lagi rona manis. Wajah imutnya sekonyong-konyong berubah menjadi wajah pucat yang mengerikan.

“Tidak Ric, Aku nggak sengaja”. Tinus berusaha menjawab. Jujur dirinya mulai ketakutan.

“Kenapa Kak Tinus buat Rica tersiksa sebelum meninggal? Rasanya sakit Kak.... Sakit......”. Mata Rica mulai melotot. Tatapan nya semakin tajam dan mengerikan. Membuat Tinus mulai melangkah mundur ketakutan.

“Ampun Ric.. Ampun... Jangan”. Tinus sama sekali ketakutan sekarang. Rica yang ada di hadapannya perlahan berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Rambut Rica yang panjang mulai mengembang. Matanya mendelik tak berkedip menatap Tinus. Ekspresinya marah, dengan rona pucat yang menakutkan.

“Kenapa Kak Tinus tega? Rica masih ingin kuliah Kak... Masih ingin lulus.... Masih mau membahagiakan Ayah dan Ibu..... Gara-gara Kak Tinus sekarang Rica jadi begini...... Kak Tinus biarkan Rica seperti ini.....”. Tangan Rica mulai terangkat ke arah Tinus. Jari-jari nya melengkung keras, mengincar leher Tinus. Seperti ingin mencekiknya. Tinus semakin beringsut mundur.

“Kak Tinus harus tanggung-jawab.... Harus tanggung-jawab......”. Kali ini tangan Rica benar-benar sudah berada di leher Tinus. Sampai-sampai Tinus jatuh terduduk. Namun tetap berusaha bergerak mundur menjauh.

“TIDAK RIC !!!! TIDAAAAAKKKK !!!!”. Tinus mulai berteriak-teriak. Jika Tinus tidak bisa melihat Rica mungkin tidak jadi soal. Tapi masalahnya saat ini Tinus bisa melihat Rica, yang saat ini berusaha mencekiknya dan meminta pertanggung-jawaban nya. 

Apalagi Tinus juga melihat di belakang Rica banyak sosok-sosok mengerikan beraneka macam, dengan bentuk tak kalah menyeramkan. Ada yang berbentuk pocong, ada yang tinggi besar dan berbulu seperti Genderuwo, ada sosok Buto Ijo, ada yang seperti mayat hidup dengan kulit membusuk dan mengelupas, dan lain sebagainya. Sosok-sosok itu juga mendekat ke arahnya seperti ingin turut membantu Rica mencekik dan menghajarnya. Anehnya tubuhnya seperti tak berdaya. Hanya bisa meronta-ronta. Menggeliat-geliat tak tentu arah. Makhluk-makhluk itu bersama Rica seperti mengeroyoknya.

Sementara di sudut lain Mbak Lova masih berusaha menyadarkan Yus, dan akhirnya berhasil. Begitu Yus siuman, Tinus dilihatnya sudah menggelepar-gelepar tidak jelas. Mulutnya meracau, berteriak-teriak. Beberapa makhluk Astral sudah menempel di tubuhnya. Termasuk Rica. Seperti yang Yus takutkan. Pembukaan mata ketiga dengan paksa memang beresiko membuat orang yang dibuka mata batin nya jadi gampang kesurupan, karena orang yang dibuka mata batin nya akan menjadi semakin sensitif menerima paparan energi astral.

“Mbak Lova, bantu pegangi Tinus. Kita harus cepat tolong dia......”. Mbak Lova dengan sigap membantu Yus berdiri. Secepatnya kemudian mereka berdua berlari ke arah Tinus. 

Malam itu, semalaman Yus berusaha habis-habisan membersihkan Tinus dari energi astral yang menempel. Susah payah mati-matian berusaha menyadarkan Tinus kembali. Tidak mudah memang, karena selain harus menutup Mata Ketiga Tinus kembali, makhluk-makhluk astral yang lain juga masuk silih berganti. Kadang yang sudah dikeluarkan bisa masuk lagi, atau digantikan dengan yang lain. Sedangkan Mbak Lova hanya bisa membantu dengan membaca doa-doa. Malam berbalut bintang di pantai Ngobaran menjadi saksi semua itu.

Hampir dua jam Yus bergulat berusaha menyadarkan Tinus. Sampai kemudian beberapa orang yang kebetulan datang dan lewat mendekati mereka. Untungnya Tinus sudah agak tenang. Orang-orang itu lalu menawarkan membawa Tinus ke rumah sakit untuk diberi pertolongan. Yus yang sudah kepayahan hanya bisa pasrah dan membiarkan Tinus di bawa, didampingi oleh Mbak Lova. Kejadian malam itu tidak akan pernah dilupakan nya. Menjadi sebuah kesalahan yang akan diingatnya seumur hidupnya.

Setelah saat itu Tinus tidak pernah mengontaknya lagi. Di kampus juga jarang bertemu. Tidak ada pembicaraan yang intens atau berarti. Yus pun memilih menyibukkan diri dengan kegiatan perkuliahan.

Hari berganti hari. Tahun berganti tahun. Yus sudah lulus sekarang. Begitu pun juga Tinus. Mereka pun lalu melanjutkan hidup mereka. Keduanya akhirnya mendapatkan pekerjaan dan meniti karir. Yus menjadi personalia di sebuah perusahaan, sementara Tinus menjadi pekerja di sebuah LSM atau NGO. Sampai pada suatu kesempatan yang tak disangka mereka bertemu lagi. Di sebuah Cafe di bilangan Jakarta Pusat.

“Hai Yus apa kabar?”. Tinus menyapa duluan.

“Hei Tin, kemana saja dirimu? Wah gemukan sekarang...”. Tinus hanya mengulum senyum mendengar nya. Mereka pun mengobrol dengan akrab. Sesekali bercanda dan membahas berbagai hal ngalor-ngidul. Tanpa terasa tiga jam kemudian, akhirnya Tinus berpamitan.

“Aku cabut dulu ya Bos. Aku dah ada janji sama dokter”. Kata-kata Tinus membuat Yus agak terkejut.

“Dokter? Kamu sakit apa?”. Spontan Yus bertanya. Postur Tinus memang agak aneh. Seperti orang yang agak bungkuk sekarang. Jalan nya juga seperti tertatih dengan langkah yang berat. Gerakan nya juga terlihat tidak leluasa.

“Iya nih Yus. Nggak tahu kenapa. Sebenarnya pas terakhir dirawat sama diterapi di Jogja terakhir dulu itu, harusnya sih sudah sembuh. Cuma ini kok habis itu jadi kayak begini. Badan rasanya berat. Kadang susah digerakin. Berdiri tegak juga susah. Walau pun di dalam punggung sudah dipasang penyangga. Sudah hampir 4 tahun ini pasca kecelakaan sama terakhir kamu ajak Aku ke pantai Ngobaran itu Yus. Ini Aku juga sudah berobat rutin bolak-balik masih belum sembuh”. Yus hanya terdiam. Tidak menjawab. Memandang Tinus dengan mata mengeryit serius. Ada ekspresi seperti kebingungan yang tidak bisa dijelaskan.

“Ya sudah ya Yus, makasih traktiran kopi nya. Nanti kabar-kabarin ya... Bye”. Tinus pun pamit meninggalkan Yus. Yus sebenarnya tidak tega dan ingin mengatakan yang sebenarnya. Teringat kejadian di pantai Ngobaran, ketika dirinya berusaha membersihkan Tinus dari kesurupan. Semua sudah bisa dilepaskan dari tubuh Tinus kecuali satu. Rica tidak mau lepas dari Tinus. Yus lalu hanya bisa mencegahnya agar tidak merasukinya, namun tetap membiarkannya menempel. Rica juga sepertinya tidak mau berpisah dari Tinus. Dirinya ingin bersatu dengan Tinus selamanya.

Tatapan Yus mengiringi tubuh Tinus yang bergerak terseret, seperti membawa sebuah beban berat di tubuhnya. Dalam pandangan indra keenam, sosok Rica tampak menempel memeluk tubuh Tinus dari belakang. Seperti tas ransel besar yang melekat di punggungnya. Mereka pada akhirnya memang tak terpisahkan. 

END OF SIDE STORY

No comments:

Post a Comment