Tuesday, December 11, 2018

TANGISAN ARWAH

oleh / by 

NOTE : Entah kenapa malah pengen nulis tentang side story. Sebuah pengalaman dari seorang teman di masa-masa kuliah dulu. Timeline nya sekali lagi berada di garis waktu ketika semuanya masih baik-baik saja dan belum ada masalah. Moodnya benar-benar lagi bagus buat nulis side story ini. Lagian juga sesuai permintaan juga, biar yang cerita aslinya juga nggak cepet tamat. Cekodot aja ya.....

DMI SIDE STORY : TANGISAN ARWAH 1
Santi menggeliat merenggangkan otot-ototnya. Jam di meja belajar nya menunjukkan pukul 22:45. Tidak terasa sudah 4 jam berlalu. Tinggal sekali lagi meneliti tulisan 25 halaman yang ada di layar laptop di depan nya. Seharusnya yang dikerjakan nya itu tugas kelompok. Cuma berhubung dirinya yang diberi tugas untuk menyusun laporan nya, terpaksa dirinya lembur malam itu. Dalam hati dirinya merutuki teman-teman nya. Sebenarnya tugas itu bagi nya tidak terasa seperti tugas kelompok. 

Mau dibilang tugas kelompok bagaimana? Lha wong, mulai dari cari bahan, menyusun materi sampai dengan menuangkan nya dalam bentuk tulisan di laporan dia sendiri semua yang mengerjakan. Baginya 6 teman nya yang lain hanya menumpang nama doang. Malah sempat-sempatnya 2 orang teman satu kelompok tugas nya saat ini tadi menelepon dan mengajaknya nonton konser Glen Friedly di Hugos Cafe. Dan ketika dirinya mengingatkan bahwa mereka ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok, telepon itu langsung mereka matikan tanpa rasa berdosa. Monyet dasar !!....

Tapi sebagai Mahasiswa dengan IPK 3,85 Fakultas Ekonomi UGM semester 4 yang baik hati dan tidak sombong, dirinya tetap tabah dan rela mengerjakan tugas-tugas itu semua. Hitung-hitung juga buat belajar, karena bulan depan toh sudah ujian semester. Dirinya juga harus menjaga supaya nilai IPK nya tidak turun. Karena itu juga lah dirinya sampai dengan saat ini masih tabah untuk tidak berpacaran. Padahal untuk ukuran seorang wanita Santi tergolong cantik. Kulitnya putih dengan mata sayu tipis. Tubuhnya juga ideal dan padat berisi. Wajahnya menarik dan bersih terjaga. Rambutnya panjang dan diwarna agak pirang. Banyak sebenarnya laki-laki yang berusaha mengambil hati nya. Hanya saja dirinya memang masih belum ingin berpacaran.

Ponsel yang tergeletak di sebelah kanan laptopnya tiba-tiba berbunyi. Wajah Santi langsung cerah. Ibu nya menelepon.

“Halo Bu.....”. Rindu sekali rasanya Santi pada Ibu nya. Sudah lewat 5 bulan dirinya tidak bertemu. Dirinya memang Mahasiswa perantauan. Berasal dari Madiun Jawa Timur. Ayah Ibu dan seorang adiknya berada di kota itu. Layaknya Mahasiswa perantauan jarang sekali dirinya bisa pulang ke kampung halaman dan bertemu keluarga. Paling hanya saat libur hari raya atau tahun baru. Kadang semester pendek pun dia habiskan untuk mengambil kuliah supaya cepat selesai.

“Belum tidur San?”. Suara Ibu nya terdengar lembut di ujung sana. Walaupun sering bertelepon ria, namun mendengar suara ibu nya acapkali membuat Santi harus menahan tangis, sangking rindunya.

“Belum Bu, lagi ngerjain tugas. Ibu sehat Bu?”. Penat Santi serasa hilang sejenak. Hanyut dalam perasaan rindu dan pembicaraan dengan Ibu nya

“Alhamdullilah sehat San. Eh Iya, cuma mau kasih kabar. Bulik Endah masuk rumah sakit. Ibu besok mungkin sama Bapak Insyaallah mau berangkat ke Magetan buat nengokin. Sekaligus nemenin Paklik Adit. Kasian dia sendirian kebingungan”. Santi teringat pada Bulik Endah dan Paklik Adit. Suami Istri itu memang sebatang kara dan tidak memiliki keturunan. Padahal mereka adalah keluarga kaya. Sawah dan tanah mereka ber hektar-hektar. Peternakan Sapi dan Ayam mereka tak terhitung. Bahkan Paklik Adit punya usaha pemotongan Sapi sendiri. Santi ingat, dulu Bulik Endah dan Paklik Adit sering membelikan nya mainan dan boneka sewaktu dia kecil.

“Ya ampun Bu.... sakit apa Bu?”. Spontan Santi bertanya pada Ibu nya

“Nggak tahu San. Ibu juga belum dapat info sakit apa. Cuma Ibu sempat dengar cerita dari Bapak, waktu Bapak sempat datang ke Magetan sebulanan yang lalu. Itu kondisinya Bulik Endah memang sudah sakit katanya. Sudah tergeletak di tempat tidur. Terus omongan nya sudah kacau. Suka ngomong sendiri nggak jelas. Kalau tidur pasti mengigau sampai teriak-teriak. Dan yang paling aneh katanya sudah tidak mau makan apa-apa lagi. Kecuali Sawi....”. 

“Sawi? Sayur sawi?”. Tanya Santi heran. Kalau Sawi dimakan dicampur dengan Indomie atau Mi Ayam enak panas-panas masih lumrah. Tapi ini dalam benaknya Santi membayangkan bahwa sawi yang dimakan hanya benar-benar sawi tanpa campuran apa pun.

“Iya San, benar-benar cuma sawi katanya. Bahkan sehari bisa habis sampai 5 ikat sekali makan”. Ini Ibu kok malah nggosip sih. Gibah banget. Orang lagi sakit malah digosipin. Santi malah banyak berkomentar dalam hatinya.

“Mangkanya Ibu mau nengokin buat memastikan. Lagian Ibu kan cuma kerabat Bulik Endah satu-satu nya. Ibu prihatin juga dengan kondisinya”. Suara Ibu nya tampak terdengar khawatir di ujung sana. Santi jadi memahami apa yang dirasakan oleh Ibu nya.

“Ya sudah Bu. Hati-hati di jalan ya nanti. Sama titip salam buat Paklik Adit. Mudah-mudahan Bulik Endah cepat sembuh”. Santi jadi ikut khawatir dan kasihan pada dua kerabatnya di Magetan itu. Apalagi bagi Santi, mereka berdua adalah orang baik. Pasangan Suami Istri kaya itu terkenal royal dan suka bersedekah. Mereka tidak pelit dan sering memberi sumbangan bagi orang yang membutukan.

“Iya Nak... Kamu juga baik-baik di sana ya. Jaga diri, jaga pergaulan. Maaf kalau Ibu ngganggu kesibukan kamu yaa.... Kamu juga kalau tidur jangan suka malam-malam. Kurangin bergadang. Nggak bagus buat badan”. Ibu Santi sedikit memberi nasihat pada Santi. Membuat Santi semakin kangen dan rindu pada Ibu nya.

“Iya Bu.... Terima kasih Bu....”. Mata Santi sedikit berkaca-kaca. Entah kenapa rasa melow itu langsung menghampiri saat Ibu nya menelepon seperti barusan. Serasa ingin segera pulang ke Madiun dan berjumpa dengan Ibu nya segera. Ibu Santi lalu pamit dan menyudahi pembicaraan. Santi lalu meletak kan ponsel ke tempatnya semula di sebelah kanan laptopnya. Santi lalu larut kembali dengan tugas kuliah di laptopnya. Dirinya tinggal memeriksa sekali lagi. Setelah itu dirinya bisa tidur. Besok ada kuliah pagi jam 9:00. Jadi lebih baik jangan tidur malam-malam. Sesuai dengan pesan Ibu nya.

Sedang asyik-asyiknya memelototi layar laptop nya, tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Reflek Santi mengulurkan tangan kanan nya untuk mengambil ponsel yang tadi dia letakkan di sebelah kanan laptop. Betapa terkejutnya dirinya saat menyadari bahwa ternyata ponselnya berdering dan tergeletak di sebelah kiri laptopnya. Tidak mungkin. Padahal dirinya yakin tadi meletakkannya di sebelah kanan. Tidak mungkin ponsel itu berjalan sendiri. Atau dirinya yang lupa barusan?

Santi memperhatikan layar ponselnya. Ponsel itu masih terus berdering. Namun di layar ponselnya tidak ada tertera nomor siapa yang menghubunginya. Bahkan tulisan “Private” saja tidak keluar kalau seandainya itu adalah nomor yang diprivat seseorang. Seolah ponselnya hanya berdering dan menyala namun bukan karena ada telepon yang masuk.

“Halo...”. Santi akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu. Tidak ada suara yang terdengar di ujung sana. Sepertinya telepon itu sudah terlanjur dimatikan di ujung sana. Santi cuma bisa menghela napas. Dirinya masih mencoba berpikir positif. Mungkin barusan gara-gara gangguan jaringan operator atau error di ponselnya. Ponsel itu kembali diletak kan di sebelah kirinya. Ke tempatnya tadi semula. Lama dirinya memandangi ponsel itu. Seolah ingin memastikan ingatan nya sebelumnya. Dirinya yakin tadi tidak memindah ponsel itu ke sebelah kiri setelah Ibu nya menelepon barusan.

Santi tidak menemukan jawaban. Dia menganggap dirinya yang lupa barusan. Mungkin tadi dirinya terlalu fokus pada tugas, sehingga tidak sadar telah memindahkan ponsel itu di sebelah kiri. Santi lalu kembali sibuk dengan tugasnya yang terpampang di layar laptop. Sampai beberapa menit kemudian ponselnya berbunyi. Kali ini dirinya kembali terkejut. Saat mengambil ponsel nya, ponsel itu ternyata sudah berpindah di sebelah kanan. Padahal tadi dirinya yakin ponsel itu berada di sebelah kiri. Ada yang tidak beres.

“Halo....”. Santi lalu cepat mengambil dan mengangkat ponsel itu. Dirinya penasaran dengan siapa yang menelpon. Meskipun dalam hati kecilnya sudah merasa ada yang tidak beres.

“Hiks.... hiks.... Tolong..... Tolong Saya Mbak..... Tolong.....”. Kali ini Santi benar-benar ketakutan. Ponselnya sampai dilemparkan nya ke atas meja belajarnya. Suara itu. Bergema di ujung sana. Suara orang menangis. Seperti suara anak kecil berusia kurang lebih 12 atau 13 tahun. Merintih minta tolong. Suaranya terdengar menyayat memilukan.

Santi lalu berusaha menenangkan pikirnya. Ini pasti ada yang mengerjainya. Diamatinya ponsel itu lekat-lekat. Kemudian sadar dirinya tidak perlu takut. Bisa saja barusan ada orang kurang kerjaan yang iseng. Tidak ada beda nya dengan penipuan Papa di kantor polisi minta transfer. Santi lalu dengan cueknya lalu mematikan Ponselnya. Dirinya ingin fokus menyelesaikan tugas kuliahnya. Kesal juga dirinya diganggu begitu rupa. Sekarang ponselnya sudah mati. Sudah dalam posisi off. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.

Beberapa menit berlalu setelah dirinya mematikan ponsel. Suasana begitu tenang dan sunyi. Tinggal 7 halaman lagi yang tinggal diperiksa. Saat itulah tiba-tiba konsentrasinya kembali pecah. Ponselnya tiba-tiba menyala dan berbunyi kembali. Santi sampai terlonjak dan melompat dari duduknya. Tidak mungkin ponsel yang tadinya Off tiba-tiba On sendiri tanpa ada yang mengaktifkan. Kali ini pun kondisinya sama. Di layar ponselnya tidak ada tertera nomor siapa yang menghubunginya, seolah hanya berdering dan menyala namun bukan karena ada telepon yang masuk.

Cepat kemudian Santi mengambil inisiatif. Tangan nya menekan tombol reject panggilan. Lalu cepat mematikan ponsel itu dan melepas baterainya. Sekarang tidak mungkin ponsel itu bisa menyala lagi. Nafas Santi mengayun cepat. Dirinya tidak mampu lagi menyembunyikan ketakutan nya. Nalarnya segera mencium ada hal yang tidak beres. Ini tidak normal.

Dirinya lalu coba memejamkan mata sambil mengurut bawah dahinya. Apakah mungkin dirinya terlalu lelah? Atau hanya berhalusinasi. Dirinya memutuskan segera mematikan laptop. Sebodo teuing dengan sisa 7 halaman yang belum diperiksanya. Santi memilih untuk berberes-beres dan kemudian tidur. Ada rasa tidak enak yang menggelayuti hati dan pikiran nya. Seperti dirinya tidak sedang sendirian di kamar nya sekarang. 

Tiba-tiba Ponselnya kembali berbunyi. Peristiwa kali ini membuat dirinya benar-benar syok. Baterai ponsel itu ada ditangan nya sekarang. Seharusnya tidak mungkin ponsel itu bisa menyala. Santi cuma bisa terdiam terpaku tak bergerak. Namun peristiwa itu cuma terjadi sebentar. Ponsel itu akhirnya mati dan kembali dalam posisi Off.

Santi lalu memutuskan cepat-cepat membereskan meja belajarnya. Memasukkan laptop dan colokan nya ke dalam tas. Namun belum sempat dirinya menuntaskan hal itu. Dirinya kembali terpaku dengan tubuh kaku.

“Hiks...Hiks.... Hiks....Huuuuu....... Huuuuuuu.”. Suara isak tangis kembali terdengar. Kali ini dari arah belakang nya. Terdengar menyayat, setengah merintih. Membuat napas Santi seperti terputus-putus. Keringat dingin tiba-tiba keluar. Dirinya tidak berani menengok ke belakang. Suasana kamarnya memang agak temaram. Dirinya tadi memang sengaja mematikan lampu kamar dan hanya menggunakan lampu meja belajarnya saat mengerjakan tugas tadi. Itu memang kebiasaan nya untuk memudahkan belajar dan berkonsentrasi. 

“Hiks.... Hiks....Huuuuu....... Tolong......”. Suara itu semakin jelas terdengar. Mirip suara anak kecil. Suara yang sama yang terdengar dari ponsel nya tadi. Santi berusaha menoleh dan mencoba mengintip lewat sudut mata nya. Ada bayangan seperti sosok tubuh perempuan berambut panjang , bertubuh kecil meringkuk di sudut kamar. 

Kepalanya tertunduk menelungkup di antara dengkulnya, sedangkan kedua tangan nya mendekap erat kedua kakinya. Sosok tubuh itu dilihat Santi seperti bayangan hitam sama-samar. Berbayang menyerupai siluet.

Secepat kilat Santi berusaha menggerakkan tubuhnya. Meraih saklar lampu di sebelah pintu kamarnya. Membuat suasana kamarnya menjadi terang benderang. Sosok tubuh itu ternyata telah menghilang. Tidak ada sosok maupun bayangan di sudut kamarnya itu. Santi mencoba menebarkan pandangan nya ke sekeliling. Memastikan lagi keadaan di sekitar kamarnya.

Saat memastikan keadaan kamarnya itu. Ada sesuatu yang turun menjuntai di hadapan nya. Itu rambut. Rambut wanita. Saat tersadar akan benda yang menjuntai di hadapan nya itu. Reflek Santi menengadah ke atas. Tepat di atasnya sosok tubuh wanita kecil melayang dengan rambut terjuntai dan mengenai dirinya. Wajahnya tampak pucat, dengan lingkaran mata kosong hitam tanpa bola mata. Tangan nya yang kurus seperti ranting pohon terulur berusaha menyentuh Santi. Bibirnya tampak pucat berwarna abu-abu gelap. Melayang dengan pakaian seperti kain hitam compang-compang yang melambai-lambai ke segala arah.

“Mbak.....Mbak Santi.......”. Sosok itu kembali terisak. Kali ini memanggil namanya. 

“AAAAAAAAAAHHHHHHHH !!!!!”. Santi menjerit tertahan. Ketakutan. Pemandangan yang terlihat di hadapan nya terlalu mengerikan bagi nya. Segera dirinya membuka pintu kamarnya, dan berlari ke kamar Mbak Puji di kamar sebelah. Sontak teriakan nya membuat seluruh penghuni kos ramai. Keluar dari kamar mereka karena ingin tahu. Beberapa lalu mencoba menenangkan Santi. Karena Santi begitu ketakutan, malam itu terpaksa dirinya tidur di kamar Mbak Puji. Hari itu gemparlah kos-kosan cewek itu, dan muncul lah gosip bahwa kos-kosan itu berhantu.

Sampai 4 hari kemudian. Santi siang itu sedang makan siang bersama teman kampusnya, Anita dan Siska. Mereka makan di Warung SGPC Bu Wiryo di samping selokan Matarram. Santi hanya tampak tidak berselera. Kejadian itu masih terus terbayang-bayang di benaknya. Rambut yang menjuntai. Wajah pucat dengan mata berupa dua lubang kosong yang gelap. Tidak mudah menghilangkannya dari pikiran berhari-hari.

“San, kamu kenapa?”. Siska terpaksa menegur Santi karena dari tadi Santi hanya mengaduk-ngaduk piring makanan yang ada di depan nya. Tanpa sedikitpun menyendoknya ke mulut.

“Ahh.. Ehh... Nggak apa-apa Sis”. Santi langsung tersadar dari lamunan nya. Namun bukan nya menyendok makanan nya, Santi malah menyeruput Es jeruknya. Tampak sekali dirinya menutupi sesuatu. Tentu saja Siska dan Anita malah curiga.

“Cerita dong San kalau ada masalah. Nggak biasanya kamu kayak begini”. Anita yang doyan makan berbicara sambil terus mengunyah dan menikmati makanan nya. Cewek tambun yang satu ini walaupun tak sepintar teman-teman yang lain namun termasuk yang paling perhatian pada Santi.

Santi menghempaskan napas sesaat. Percuma juga menyimpan masalah dari dua orang sahabatnya ini. Lagi pula semakin disimpan nya hal itu malah semakin mengganggu nya. Santi pun lalu menceritakan kejadian yang dialami nya kemarin. Kedua orang sahabatnya itu mendengarkan dengan wajah bergidik ngeri. Bagaimanapun entah benar atau tidaknya cerita itu, yang jelas itu adalah cerita horor yang mendirikan bulu roma. 

“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Aku juga nggak memaksa kok”. Santi sudah pasrah jika seandainya dua orang sahabatnya itu menganggapnya mengada-ada atau mencemoohnya. Sementara Siska dan Anita cuma bisa berpandangan. 

“Kita percaya kok San sama kamu. Cuma nggak nyangka aja kok kos-kosan mu ternyata berhantu...”. Santi cukup lega mendengarnya. Dipandanginya wajah Siska lekat-lekatnya.Wajah Siska yang hitam manis khas orang ambon menurutnya merupakan bentuk kecantikan yang unik. Kedua teman nya itu merupakan sahabatnya dari awal kuliah. Mereka bersama-sama semenjak awal semester. Meskipun mereka bertiga berbeda tempat kos namun hampir setiap hari mereka kemana-mana bertiga.

“Iya lho San. Padahal kamu kan dari awal semester di situ. Kok baru semester 5 ini kosan mu ketahuan berhantu?”. Tanya Anita pada Santi. Pertanyaan Anita ada benarnya. Entah kenapa fenomena paranormal itu baru dialami nya saat ini.

“Sebenarnya bukan cuma itu......”. Santi agak berat menceritakan bagian ini. Tetapi semakin dipendam rasanya semakin berat. 

“Cerita aja San....”. Anita dan Siska tampak menunggu Santi menceritakan semuanya. Sejenak Santi tampak ragu. Tetapi akhirnya dirinya menceritakan semuanya pada dua orang sahabatnya itu.
“Setelah kejadian itu Aku jadi sering bermimpi. Bermimpi tentang anak kecil perempuan yang selalu meminta tolong. Aku tidak ingat wajahnya. Tetapi sepertinya familiar”. Santi menceritakan bahwa mimpi itu dialaminya hampir setiap malam. Sampai-sampai dirinya sulit tidur. Sudah hampir seminggu ini dirinya tidur di kamarnya Mbak Puji dan enggan tidur sendiri. Mbak Puji sebenarnya tidak masalah. Tetapi Santi tidak enak juga lama-kelamaan.

“Wah sayang banget San. Aku sama Siska awam sama soal yang beginian. Jangankan ketemu hantu, liat film horor Suzanna aja kita udah ketakutan. Apalagi soal permasalahan mu ini”. Anita cukup berempati pada Santi. Dirinya turut sedih dan bingung. Sementara Siska sepertinya malah teringat sesuatu.

“Mungkin ada teman kos ku yang bisa bantu kamu soal masalah ini San.....”. Siska tiba-tiba memberikan secercah harapan pada Santi. Harapan untuk keluar dari mimpi buruk.

“Aku punya teman kos San. Dia anak kampus Atma, jurusan hukum. Kata teman kos yang satu kuliahan sama dia, katanya anak ini terkenal di kampusnya. Paham masalah supranatural sama bisa kasih jawaban tentang masalah-masalah seputar astral. Sering jadi tempat konsultasi juga di kalangan teman-teman kampusnya”. Santi mengeryitkan dahinya. Baginya Mahasiswa nyambi jadi paranormal itu omong kosong.

“Itu masih mahasiswa?”. Santi bertanya antara agak sinis dan setengah ingin tahu.

“Iya San, dia masih Mahasiswa. Paling cuma beda satu angkatan di bawah kita. Asalnya dari Pekalongan. Dengar-dengar orang tua nya memang juga berprofesi sebagai paranormal. Bapaknya pakar Supranatural, Ibu nya peramal. Selain itu katanya dia Indigo-indigo gitu.....”. Siska menjelaskan panjang lebar. Jujur Santi jadi tertarik mendengar penjelasan Siska.

“Indigo? Yang katanya bisa lihat makhluk-makhluk halus begitu?”. Santi pernah mendengar istilah itu dari sebuah blog yang dibacanya di internet. Tak disangka ternyata hal itu bukan sekedar istilah, namun sesuatu yang memang ada.

“Betul San. Coba saja San. Siapa tahu dia bisa kasih saran atau punya jalan keluar soal masalahmu ini”. Santi agak ragu sebenarnya. Namun saat ini dirinya tidak punya pilihan. Sore itu dirinya membonceng Siska naik motor ke kosan nya di Gang Perkutut di daerah Jalan Demangan. Namun ternyata Santi dan Siska harus menunggu, karena ternyata orang yang dimaksud masih belum pulang ke kosan. Akhirnya Siska dan Santi memutuskan menunggu di depan kos sambil mengobrol.

Sebetulnya Santi berdebar-debar juga menunggu. Baru kali ini dirinya bertemu dan berkonsultasi dengan orang yang paham soal klenik dan metafisik. Dalam bayangan nya, pasti teman Siska ini penampilan nya model-model Ghotik. Dengan pakaian hitam. Wajah angker dengan eye shadow hitam di seputar mata kemana-mana. Lipstik gelap hitam. Pernak-pernik tengkorak dan gelang akar bahar, serta batu akik di cincin. Mirip presenter di acara Dunia Lain atau acara hantu-hantuan di TV itu. Jika seandainya tidak dalam keadaan kepepet, dirinya juga emoh berurusan dengan orang model begitu.

Kurang lebih satu jam menunggu, orang yang ditunggu akhirnya datang. Cewek itu diantar oleh seorang laki-laki menggunakan motor bebek Yamaha Jupiter. 

“Dadah Yus ku..... bye... hati-hati di jalan ya Say......”. Cowok itu pun lalu langsung berpamitan. Sempat menganggukkan kepalanya juga ke arah Santi dan Siska yang sedang duduk di teras, depan rumah. 


Santi akhirnya melihat sendiri teman kos yang dikatakan Siska bisa menyelesaikan masalahnya itu. Penampilan nya biasa. Tidak seperti bayangan nya yang serba Ghotik dan menggunakan pernak-pernik seperti dukun atau paranormal. Saat itu perempuan itu menggunakan jaket kuning dengan dalaman kaos warna pink. Sangat cerah dan girly. Wajahnya termasuk cantik. Matanya lebar dan terkesan manis. Tanpa banyak riasan atau make up, kecantikan nya memancar dengan sendirinya. Rambutnya panjang dan indah bak model sunsilk. Tubuhnya semampai bahenol. Dadanya juga montok. Santi sempat membandingkan dengan dadanya. Punya nya kalah jauh. Perempuan itu wajahnya sekilas mirip dengan artis Titi Kamal.

“Eh ada Mbak Siska......”. Cewek itu tampak ramah menyapa Siska yang sedang duduk di depan. Gerak-geriknya tampak lincah dan ceria.

“Iya Yow, eh kenalin. Ini Santi. Yang tadi sempat Aku ceritain sama kamu di SMS ada masalah. Kenalin nih”. Mau tidak mau Santi mengulurkan tangan nya ke arah wanita itu. 

“Santi...”. Wanita itu pun menyambut tangan Santi dan menjabatnya dengan erat.

“Yowan...”. 

Siska lalu meminta Santi untuk menceritakan masalahnya pada Yowan. Antara yakin dan tidak yakin pada Yowan Santi menceritakan semuanya. Wajah Yowan yang tadinya ceria mendadak serius ketika mendengarkan Santi. Mata Yowan menatap tajam ke arah Santi, tetapi tatapan itu seakan menembus Santi. Seolah Yowan bukan memperhatikan nya, tetapi menatap sesuatu yang ada di belakang Santi. 

“Kira-kira begitu Mbak Yowan ceritanya. Sumpah, itu kejadian pertama kali yang Saya alami. Sebelum-sebelumnya nggak pernah saya alami yang kayak begitu. Gara-gara kejadian itu, sekarang Saya jadi takut kalau tidur sendiri. Takut kalau ada di tempat sepi sendiri”, ujar Santi begitu dirinya selesai menceritakan semuanya. Mata Yowan tampak berputar lincah ke atas, tanda dirinya berpikir sejenak. Dirinya tidak langsung menanggapi perkataan Santi

“Gimana Yow? Kayaknya itu makhluk halus yang di kos-kosan Santi itu perlu diusirin deh. Keterlaluan kalau sudah mengganggu kayak begini”. Mbak Siska duluan menanggapi. Tidak sabar menunggu Yowan buka suara. Namun Yowan malah menatap agak panjang ke ruang kosong yang ada di sebelah Santi.

“Kayaknya Mbaknya diikutin deh”. Yowan tiba-tiba buka suara. Tampaknya dirinya telah berhasil menyimpulkan sesuatu.
Santi dan Siska sontak tercekat. Mereka berpandangan satu sama lain. Bahkan Santi dan Siska tiba-tiba merasa merinding. Yowan hanya nyengir kuda, kemudian malah berdiri dan beranjak dari duduknya.

“Yuk.. kita ke kamar aja yuk”. Mau tidak mau Santi dan Siska mengikuti Yowan masuk ke dalam. Kos-kosan Yowan itu terdiri dari 2 lantai. Masing-masing lantai terdapat lorong yang di kanan kiri nya terdiri dari kamar-kamar. Masing masing lantai ada 6 kamar, dengan 3 kamar di sisi kiri dan 3 di sisi kanan. Jadi total ada 12 kamar.

Kamar Yowan terletak di lantai 1. Kamar kedua di tengah. Kamar Yowan seperti layaknya kamar remaja putri lain nya. Tampak bersih dan rapi. Kamarnya model kamar kos dengan kamar mandi dalam. Meja belajarnya ada di ujung sebelah kanan tempat tidurnya. Beberapa buku tertumpuk di atas nya. Buku kuliah menjadi satu tertumpuk dengan buku komik. Yowan meletakkan tas ransel kuliah berwarna merah nya di atas meja belajar itu. Tas itu tas yang digunakan oleh Yowan sehari-hari. Pada bagian lantai samping kanan tempat tidur Yowan ada karpet beludru warna pink. Dan ada sebuah bantal besar warna kuning dengan gambar motif bunga-bunga

“Duduk dulu sebentar Mbak, Saya mau cuci kaki dulu sebentar”. Yowan lalu mempersilahkan Siska dan Santi duduk di atas karpet pink nya. Sempat Santi memperhatikan isi kamar Yowan. Ada beberapa hal yang menarik dari kamar Yowan. Sprei dan sarung bantalnya yang berwarna hijau menyala. Sangking menyalanya sampai seakan warna hijau itu mendominasi ruangan kamar itu. Selain itu di dinding atas tempat tidurnya ada gambar berupa lukisan seorang putri mengenakan baju kerajaan berwarna hijau. Lengkap dengan mahkota nya. Lukisan itu tampak hidup. Putri itu berdiri dengan latar ombak dan lautan biru. Tampak anggun sekaligus berwibawa. Siapa pun pasti mengenal siapa sosok yang ada di gambar itu. Santi tidak berani menatap lukisan itu lama-lama. Ada hawa magis yang menusuk saat lukisan itu diperhatikan.

Setelah Yowan selesai mencuci kaki dan melepas jaket kuningnya, dirinya lalu bergabung dengan Santi dan Siska duduk di atas karpet beludru.

“Saya tidak kenal dengan siapa yang mengikuti Mbak Santi itu. Seperti nya dia ingin menyampaikan sesuatu ke Mbak Santi”. Yowan lalu mencoba membuka pembicaraan dan menjelaskan. Sayangnya apa yang dikatakan nya malah membuat Santi makin bingung.

“Kenapa dia mengikuti Saya?”, tanya Santi kemudian. Yowan sudah mengira Santi akan bertanya seperti itu. Dirinya hanya tersenyum ke arah Santi. Menatap Santi dengan tatapan hawa mistis khas nya.

“Saya juga kurang tahu Mbak. Ini ada hubungan nya sama keluarga Mbak Santi. Ada baiknya Mbak Santi coba tanya sendiri ke dia”. Santi kembali tercekat. Apa yang Yowan sampaikan malah di luar dugaan nya.

“Caranya? Saya hanya orang biasa. Tidak punya kemampuan bicara dengan roh atau hantu”, tanya Santi kemudian.

“Oooohhh... Aku ngerti San. Aku pernah lihat di TV. Ada beberapa cara buat komunikasi sama makhluk halus. Bisa pakai mediumisasi, jadi Yowan sebagai medium atau perantara untuk bicara sama makhluk itu. Makhluk itu masuk ke badan Yowan, sehingga kamu bisa tanya-tanyain......”. Yowan hanya mencibir mendengar jawaban Sotoy Siska. Sebagai tanda bahwa jawaban Siska itu salah besar.

“Aku nggak bakal pakai cara murahan kayak begitu Mbak Sis”. Tukas Yowan kemudian. Dirinya kemudian berdiri lalu berjalan ke arah lemari dan membuka nya. Diiringi tatapan Santi dan Siska.

“Oooo... Aku tahu San. Dia bakal pakai media Jaelangkung buat komunikasi sama hantu itu.....”. Siska lagi-lagi dengan gaya sotoy nya coba berbisik pada Santi. Seolah dia tahu dan bisa menebak apa yang akan dilakukan Yowan kemudian setelah ini..

“Itu sih cara anak-anak Mbak”. Siska jadi terkejut mendengarnya. Dirinya langsung merasa malu, tak berani berkomentar lagi. Dua kali dirinya salah menebak. Terlebih dirinya juga tidak menyangka Yowan mendengar dirinya berbisik pada Santi. 

Yowan lalu mengeluarkan selembar kain putih mirip kain mori, namun berwarna abu-abu dan sedikit lebih tebal. Kain itu seukuran separuh sprei kasur single bed. Santi sempat melihat ada sedikit bercak-bercak coklat pada kain itu. 

“Kita pakai media ini saja”. Santi dan Siska memperhatikan kain yang dipegang Yowan lekat-lekat. Mereka sama sekali tidak ada ide tentang apa yang akan dilakukan Yowan dengan kain itu. Yowan lalu mencoba mengatur posisi, dan membentangkan kain aneh yang dipegangnya itu di atas kasur, sehingga menutupi permukaan nya. Yowan juga meminta Santi dan Siska duduk mengelilingi tempat tidurnya. Tempat tidur Yowan itu berupa dipan biasa tanpa kolong tempat tidur. Kasurnya adalah kasur model spring bed tumpuk dua, yang umum dipakai oleh anak-anak kos. 

“Itu apa Mbak Yowan?”. Santi tidak tahan untuk bertanya pada Yowan. Kain itu sedari tadi membuatnya bergidik entah kenapa.

“Ini namanya Jarit Sri Gadung kencono, atau orang lebih banyak mengenalnya dengan sebutan Popok Wewe.......”. Kata-kata Yowan tidak hanya membuat Siska dan Santi terkejut, tetapi juga ngeri. Siapa tidak tahu makhluk halus dengan buah dada menjuntai panjang ke bawah dengan sebutan Wewe. Membayangkan nya saja Santi dan Siska sudah merasa seram. Apalagi melihat popoknya yang dibentangkan Yowan.
Yowan kemudian dengan cueknya mengambil kembang setaman dan menaburkan nya di atas kain yang dibentangkan nya itu. Setelah itu dirinya mengambil hio dan tatakan nya dari lemari dan mulai menyalakan nya. Seketikan aroma dupa menyeruak memenuhi ruangan. Memberi kesan mistis yang semakin kental. Kemudian Yowan mengambil beberapa lembar kertas dan spidol.

“Yuk kita mulai.........”. Sesaat setelah Yowan mengucapkan kata-kata itu, tanpa diminta Santi dan Siska berbutan bergerak cepat mengambil tempat di belakang Yowan. Jujur saja mereka ketakutan, walau sebenar nya Yowan belum melakukan apa-apa.

“Apa pun yang terjadi, apa pun yang Mbak Santi dan Mbak Siska lihat, jangan berisik, jangan berteriak, sebelum saya persilahkan”. Yowan mencoba memberikan syarat dan kondisi untuk dipatuhi.

Yowan kemudian hening sejenak. Mengambil napas. Dirinya duduk bersila di bagian samping kanan tempat tidurnya. Sementara Siska dan Santi duduk di belakangnya dengan ketakutan. Yowan lalu mulai terdengar membaca mantra. Yang membuat suasana terasa semakin magis, Yowan membacakan mantra itu seperti orang sedang melantunkan kidung atau menembang.

Jalasutra ing luhur Mami
Kabeh padha rumeksa
Angadhanging mungsuh
Anulak Panggawe Ala

Selesai melantunkan tembangnya, Yowan menepuk lantai 3 kali sambil berkata, “ Siapa pun dirimu yang mengikuti Mbak Santi, HADIRRR !!!! Muncul di depan Saya, lewat Jarit Sri Gadung Kencono ini.....”. 

Kejadian selanjutnya sungguh di luar nalar. Kain yang ada di atas tempat tidur Yowan tiba-tiba bergerak-gerak. Bagian tengah nya perlahanmenonjol naik, seakan ada sesuatu muncul di tengah-tengah kain itu. Muncul dari bawah tempat tidur. Padahal itu tidak mungkin. Bawah tempat tidur Yowan itu kasur springbed biasa.

Siska berusaha menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak, sementara Santi mencengkeram keras kain bawah kausnya sendiri. Mereka berdua berusaha untuk tidak takut. Ritual yang dilakukan Yowan diluar perkiraan mereka. Ini lebih seram dari sekedar yang mereka bayangkan. Lebih mengerikan dari sekedar bermain Jaelangkung atau mediumisasi.

Kain yang dibentangkan Yowan itu sekarang tidak ubahnya seperti kain yang menutupi atau mengerodongi sesorang di atas tempat tidurnya. Bentuknya seperti siluet seorang perempuan bertubuh kecil. Jika tidak melihatnya sendiri, Santi dan Siska tidak akan percaya. Suasana berubah menjadi tegang. Setidaknya bagi Santi dan Siska saat ini

“Buat kamu yang ada di depanku. Jawab pertanyaan ku. Ingat... jawab yang benar !!! Jangan bohong !! Awas kamu kalau bohong.... Aku bakar kamu !!!”. Yowan berteriak galak. Nadanya keras mengingatkan pada siapapun sosok yang ada di balik kain itu agar jangan macam-macam.

“Silahkan Mbak Santi, kalau ada yang mau ditanyain...”. Yowan lalu mempersilahkan Mbak Santi untuk memulai. Dengan wajah tegang dan tubuh gemetaran Santi lalu maju sedikit ke samping Yowan. Dirinya sebenarnya masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapan nya itu.

“Siapa kamu?”. Santi memberanikan diri untuk bertanya. Namun sosok yang ada dibalik kain putih itu tidak kunjung menjawab. Yang terdengar kemudian hanya suara isak tangis yang mendirikan bulu roma

Hiks... Hiks... Hikss.... Huuu.. Huuuu......
“Sudah kuduga, dia tidak mampu menjawab...”. Yowan kembali buka suara. Dirinya lalu mengambil secarik kertas dan spidol yang sudah disiapkan. Kertas dan bolpoin itu lalu dimasukkan ke dalam sela-sela bawah kain yang ada di hadapan nya itu.

“Cepat tulis di kertas itu !!! Waktu nya nggak banyak”. Yowan lagi-lagi memerintah dengan nada mengancam. Sesaat kemudian duduk bersila dan memejamkan matanya, seolah memfokuskan energi dan pikiran nya untuk membantu sosok yang ada di balik kain itu untuk menyampaikan sesuatu.

SRAT !!
Kertas yang tadi dimasukkan di bawah sela-sela kain itu tiba-tiba terlontar seperti terhembus keluar dari bawah kain putih di hadapan mereka bertiga itu. Santi dan Siska sampai terpekik pelan dan mengeratkan pegangan tangan mereka satu sama lain sangking kagetnya. Yowan lalu memungut kerta yang terlontar itu lalu memperhatikan nya.

“Mbak Santi kenal sama nama ini?”. Yowan lalu menghadapkan kertas itu ke arah Santi. Ada tulisan tangan seseorang di atasnya. Padahal Santi tadi melihat sendiri kertas itu tadinya kosong. Tulisan di atas kertas itu walaupun seperti tulisan cakar ayam dan mirip coretan-coretan abstrak, tapi masih bisa terbaca oleh Santi.

“YUNI”. Itu tulisan yang ada di atas kertas itu. Sayangnya bagi Santi nama itu sama sekali asing. Tidak ada seorangpun dalam ingatan nya yang memiliki nama itu. Santi pun menggeleng ke arah Yowan. Yowan lalu langsung mengambil kertas lain nya, lalu melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Memasukkan kertas itu ke dalam sela-sela bawah kain yang ada di hadapan nya.

“Jawab yang jelas !!..... kalau kamu Yuni, Yuni siapa?”. Kali ini Yowan yang bertanya dengan nada yang tak kalah galak dari yang sebelumnya. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu jawaban nya. Kertas itu kembali terlontar seperti terhembus keluar dari sela-sela bawah kain itu. Yowan lalu memungut dan membaca tulisan di atas kertas itu dengan kening berkerut, lalu menghadapkan kertas itu ke arah Santi. Santi lalu memperhatikan tulisan di atas kertas itu dengan seksama. 

“Aku anak dari Bapak Adit Sulastro dan Ibu Endah Pratiwi”. Tulisan yang ada di atas kertas itu cukup membuat Santi terkejut. Dirinya mengenal nama yang tertulis di kertas itu. Itu nama Paklik Adit dan Bulik Endah kerabatnya. Namun rasanya tidak mungkin.

“Itu nama Paklik sama Bulik Saya di Magetan Mbak Yowan, tapi rasanya tidak mungkin. Setahu Saya Paklik sama Bulik Saya itu tidak punya anak”. Santi menjelaskan kepada Yowan. Yowan sempat berpikir kemudian. Hanya ada satu cara untuk menjawabnya.
Sekali lagi Yowan melakukan hal yang sama, memasukkan kertas ke sela-sela kain dihadapan nya itu.

“Kenapa kamu mengikuti Mbak Santi? Bagaimana kamu meninggal?”, tanya Yowan kemudian. Reaksi yang terjadi ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sosok di balik kain itu malah tidak kunjung memberikan jawaban. Malah semakin menangis tersedu-sedu.

Hiks... Hiks... Hikss.... Huuu.. Huuuu......
Tiba-tiba sesaat kemudian Yowan mendadak seperti tersiaga. Hawa sekeliling kamar tiba-tiba berubah. Ada hawa dingin yang tiba-tiba menerpa. Santi dan Siska pun merasakan perubahan hawa sekeliling mereka. Rasanya seperti ada yang mendekat datang. Lampu kamar tiba-tiba meredup dengan sendirinya. Sayup-sayup kemudian terdengar seperti bunyi lonceng yang digantung di leher sapi. Bunyi nya khas : 

Klunthung... klunthung..... kluntung...... klunthung

“Kurang ajar !!!”. Tiba-tiba Yowan mengumpat. Secepat nya kemudian menghantam kan telapak tangan nya ke lantai. 

WHUUUUSSSSZZZZZZ

Bersamaan dengan itu kain yang ada dihadapan Yowan, Siska dan Santi tiba-tiba seperti terbang terlempar ke atas. 

“AAAAAAaaaaa !!!!”. Santi dan Siska sampai terpekik keras karena kaget. Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan. Santi sempat melihat Yowan berkomat-kamit. Telapak tangan nya tidak lepas dari permukaan lantai.

“Pergi Kamu.... Yang kamu cari sudah tidak ada di sini”. Entah buat siapa kata-kata itu diucapkan Yowan. Santi dan Siska hanya bisa berpelukan ketakutan. Mereka berdua seakan bisa merasakan ada sesuatu yang mengancam keselamatan mereka. Sesaat kemudian hawa ber-angsur-angsur normal. Lampu kamar Yowan yang tadinya redup kembali terang seperti semula. Yowan lalu tampak menarik napas lega. Sementara Santi dan Siska masih tidak mengetahui persis apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada apa sebenarnya Mbak Yowan?”. Setelah mengumpulkan keberanian, Santi lalu mencoba bertanya. Sementara Yowan tidak langsung menjawab. Dirinya malah mengumpulkan kertas-kertas yang tadi sudah sempat ada tulisan dari sosok Yuni, melipatnya, mengambil korek lalu membakarnya di atas asbak besi yang ada di kamarnya. Sambil menunggu kertas itu terbakar habis, Yowan lalu mengambil botol air mineral kecil dari dalam tas nya. Selanjutnya abu kertas yang sudah terbakar habis itu dimasukkan ke dalam botol air mineral itu, lalu mengocoknya sehingga abu kertas yang tadi dimasukkan bercampur dengan air yang ada di dalam botol itu.

“Saya sudah paham duduk persoalan nya Mbak Santi. Ini memang ada kaitan nya dengan Paklik sama Bulik nya Mbak”. Yowan menjawab pertanyaan Santi sambil membereskan kain putih yang tadi sempat terlempar ke atas itu, lalu memasukkan nya kembali ke lemari.

“Maksud Mbak Yowan bagaimana?”. Santi malah semakin bingung mendengarnya. Sementara Yowan tidak langsung menjawab. Dirinya malah sibuk membereskan sisa-sisa ritual yang barusan dilakukan. Santi dan Siska hanya bisa berpandangan.

“Kalau Mbak Santi mau tahu jawaban nya, silahkan minum air di dalam botol ini. Nanti Mbak Santi akan tahu sendiri jawaban nya......”. Yang Yowan maksud adalah air bercampur abu kertas di dalam botol air mineral kecil yang ada di tangan nya. Santi memperhatikan air itu dengan tatapan ragu. Air itu tampak keru. Bercampur dengan butiran-butiran hitam bekas abu bakaran kertas.

“Tapi ini ada harga nya Mbak. Kalau konsultasi memang gratis. Tapi kalau ini ada harganya”, ujar Yowan kemudian. Kata-kata Yowan jujur membuat Siska sempat tersinggung

“Yow jangan begitu dong.... masak sama teman Mbak Siska kamu tega kayak begitu? Mbak kan sering bantu kamu sama traktir kamu juga”. Siska spontan protes ke Yowan. Dirinya juga tidak menyangka tadinya kalau Yowan ternyata bakal memasang tarif dan menarik bayaran untuk urusan begini.

“Sudah Sis, nggak apa-apa”. Santi lalu pelan menepuk bahu Siska. Sejenak kemudian mengambil ponselnya lalu mengaktifkan internet banking, lalu mengetikkan sejumlah angka untuk ditransfer.

“Segini cukup?”. Santi lalu menunjukkan angka di ponsel itu ke Yowan. 400.000 ribu Rupiah. Yowan jelas langsung jadi sumringah melihatnya. Tanpa ragu-ragu lalu menyebutkan nomor rekening miliknya. Transaksi selesai. Siska pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Botol itu lalu berpindah ke tangan Santi.

“Diminum sekarang atau nanti?”. Santi lalu bertanya pada Yowan. Dirinya sempat ragu ketika memperhatikan air butek di dalam botol itu. Air yang nanti harus diminumnya. Akan tetapi rasa penasaran nya lebih besar dari logika nya.

“Nanti diminum sebelum tidur”. Jawab Yowan pendek. 

3
DMI SIDE STORY : TANGISAN ARWAH 3

Malam itu Santi sebenarnya ragu meminum air keruh di dalam botol itu. Membayangkan rasanya membuatnya merasa tidak nyaman. Namun rasa penasaran nya begitu besar. Kejadian barusan di kamar kos Yowan membuat banyak pertanyaan hilir mudik di kepalanya. Apalagi ketika melihat sebentuk kain putih biasa tiba-tiba bisa bangun dan terbang sendiri. Jelas bukan sesuatu yang bisa masuk ke dalam akal sehatnya.

Sambil menahan seluruh rasa mualnya Santi membuka tutup botol dan mulai meminumnya. Ternyata rasanya tidak seperti yang dibayangkan. Seperti air putih biasa. Heran rasanya. Santi menenggak minum itu sampai habis dengan sendirinya. Sempat kemudian dirinya berdiam diri menunggu reaksi sesuatu. Namun ternyata biasa saja, tidak ada reaksi apa-apa. Ah.... mungkin reaksinya besok. 

Sempat diliriknya jam. Jam menunjukkan pukul 22:30. Mungkin saat nya tidur. Santi pun mulai berberes-beres dan memulai ritual sebelum tidur. Gosok gigi, cuci muka, menggunakan krim malam, cuci kaki lalu bersiap-siap tidur. Santi lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikiran-pikiran tentang kejadian tadi sore di kamar Yowan masih berseliweran di kepala nya. Entah kenapa rasanya gelisah. Santi tidak bisa tidur. Sedari tadi hanya tergolak-golek ke sana kemari. Tapi rasa nya sulit terlelap. Tidak seperti biasanya dirinya begini. Sampai akhirnya dirinya malah terduduk di tengah ranjang karena tidak bisa tidur. Heran rasanya. Tidak biasanya sulit tidur sampai seperti ini.

“Kak......”. Tiba-tiba sebentuk suara mengagetkan nya. Sesosok anak perempuan tampak duduk menyamping di ujung bawah tempat tidurnya. Santi sempat beringsut mundur sangking kagetnya. Tetapi saat kembali diperhatikan ternyata sosok itu bentuknya tidak terlalu menyeramkan juga. Rambutnya panjang tergerai melebihi bahu. Agak awut-awutan. Muka anak itu pucat tirus. Tubuhnya tampak kurus ringkih dibalut kain panjang berwarna gelap. Lingkar matanya yang hitam jelas terlihat melingkari rona matanya. Saat lebih diperhatikan, wajah sosok itu tampak begitu memelas dan tampak kuyu. Dibalik rasa takutnya, Santi sebenarnya agak kasihan melihatnya.

“Si...siapa kamu??....”. Santi coba bertanya dengan suara gemetar. Dikumpulkan nya keberanian nya untuk mencoba bicara dengan sosok itu

“Aku Yuni, anak dari Bapak Adit Sulastro dan Ibu Endah Pratiwi”. Sosok itu seakan berusaha meyakinkan Santi dengan mengulang hal yang sebelumnya sudah pernah disampaikan. Sepertinya sosok itu ingin menyambung komunikasi yang sempat terputus sebelumnya.

“Tapi Pakde Adit dan Bude Endah tidak punya anak. Kenapa bisa begitu?”. Pertanyaan Santi lama tidak dijawab sosok Yuni itu. Sosok Yuni itu malah menangis, 

Hiksss..... Hiksss..... Hiksss.....

Perlahan kemudian sosok Yuni itu mengulurkan tangan nya.

“Ayo Kak..... Aku tunjukkan semuanya pada Kakak”. Ragu Santi menyambut uluran tangan itu. Tangan itu bagaikan ranting kayu kering yang rapuh. Tampak kurus dengan kulit kisut yang pucat

“Mau kemana? Aku harus ganti pakaian dulu kalau mau pergi”. Santi masih sempat bertanya kemudian. Tidak mungkin dirinya pergi dengan menggunakan piyama polkadot seperti ini.

“Kakak tidak usah khawatir........ lihat ke belakang.......”. Jawab sosok itu.

Spontan kemudian Santi menoleh ke belakang. Ternyata tampak tubuhnya tergeletak tertidur pulas rebah di ranjangnya. Ternyata sedari tadi dirinya sudah tertidur lelap. Tak percaya Santi memperhatkan tubuhnya. Tubuhnya terasa ringan. Sepertinya saat dirinya memutuskan untuk bangun dan duduk di tengah ranjang tadi sukmanya malah terlepas dari raga. Saat ini dirinya tidak merasa sedang bermimpi. Dirinya seakan seperti terbangun padahal tertidur.

“Ayo Kak..... pegang tangan saya.......”. Sosok itu masih setia menunggu Santi menyentuh tangan nya. Tidak sedikitpun mengendurkan tangan kurusnya itu. Perlahan Santi menyambut tangan kurus sosok Yuni itu. Seketika kemudian tubuhnya seperti tersedot dan melayang terlempar. Sampai kemudian beberapa saat kemudian dirinya sudah berada di suatu tempat. Sekelilingnya menunjukkan kalau dirinya sedang berada di dalam sebuah rumah di desa. Rumah itu tampak kumuh. Tak banyak perkakas di dalamnya. Hanya ada kursi reyot di ruang tamu dan sebuah meja tamu kecil. Barang – barang di rumah itu pun juga tampak usang. Tampak Pakde Adit sedang tertunduk dihadapan 2 orang berwajah garang. Duduk di ruang tamu dengan posisi seperti disidang

“Pokoknya Saya tidak mau tahu. Kalau hutang nya tidak dibayar. Sertifikat tanah dan rumah kami sita. Minggu depan silahkan angkat kaki dari rumah ini. Rumah ini akan kami segel....”. Orang itu berteriak garang sambil menggebrak meja. Membuat Pakde Adit tampak ciut. Sedetik kemudian keluar dari rumah sambil membanting pintu.

Budhe Endah yang bersembunyi di kamar lalu segera keluar mendekati Pakde Adit. Air matanya tampak lantas bercucuran.

“Pak.... Bagaimana ini Pak?”. Budhe Endah menangis dibahu Pakde Adit. Sementara Pakde Adit hanya bisa menatap kosong ke depan. Dari balik pintu kamar sosok anak kecil serupa sosok Yuni mengintip dengan wajah takut. Sepertinya dirinya tidak begitu paham dengan apa yang barusan terjadi.

“Itu Aku Mbak...... Kami memang miskin sejak awal. Sampai kemudian Bapak terjebak hutang lintah darat”. Sosok Yuni menunjuk anak kecil yang mengintip itu. Santi sama sekali belum paham dengan apa yang dilihatnya itu. Apakah mungkin ini adalah potongan masa lalu? Yang coba ditunjukkan Yuni kepada Santi.

“Sepertinya kita memang harus ke Gunung Kawi Bu”. Lirih kemudian suara Pakdhe Adit terdengar. Membuat Bude Endah sedikit terkejut.

“Bapak serius? Bapak mau mengikuti saran Mbah Bayu?”. Budhe Endah tampaknya tidak setuju dengan rencana itu. Tetapi dirinya juga tidak mampu memikirkan cara lain

“Mau bagaimana lagi Bu? Mbah Bayu bilang kalau kita ingin mengubah nasib kita harus coba muja di Gunung Kawi. Mau tidak mau, kita harus ke sana Bu. Lusa kita berangkat”. Budhe Endah tampak tidak mampu berpendapat lain. Dirinya hanya bisa menuruti kata-kata Pakdhe Adit suaminya

Tubuh Santi kemudian mendadak seperti melayang lagi. Seperti tersedot dan terlempar. Namun sesaat kemudian dirinya seperti berpindah tempat. Berpindah ke sebuah tempat yang tidak dia kenal. Sebua tempat yang cukup ramai. Banyak orang lalu lalang membawa sajen dan dupa. Bahkan entah kenapa aroma kembang setaman dan menyan bisa tercium olehnya. Diantara orang yang lalu lalang itu, tampak Pakde Adit, dan Bude Endah berdiri sambil menggandeng Yuni. Wajah kedua orang suami istri tampak kebingungan sepertinya.

“Berapa uang kita Bu?”, tanya Pakde Adit pada Budhe Endah. Wajahnya tampak lesu dan lelah.

“Cuma 75.000 Pak. Itu juga sudah nanti sama ongkos pulang dan buat beli makan di jalan”. Jawab Budhe Endah dengan nada dan wajah tak kalah lesu. Dirinya membuka dompet dan menunjukkan uang yang dia bawa di dalam dompet itu. 
Wajah Pakde Adit tampak bertambah lesu dan putus asa. Harga sajen ingkung ayam lengkap dengan kembang setaman dan dupa hio saja jumlahnya antara 100.000 sampai dengan 400.000. Jelas tidak terjangkau dengan uang yang mereka punya. Tidak ada pilihan selain pulang dengan tangan hampa.

Pakde Adit, Budhe Endah bersama Yuni akhirnya kemudian memutuskan untuk duduk menenangkan diri sejenak dan duduk di bawah pohon Dewandaru. Katanya, orang yang bertapa dan bertirakat di bawah pohon Dewandaru jika kejatuhan daun pohon Dewandaru maka akan dipermudah rezekinya. Akan tetapi Pakde Adit dan Budhe Endah tidak bermaksud untuk bertapa apalagi bertirakat di sana. Mereka hanya ingin beristirahat, melepas lelah dan menenangkan pikiran. Jauh-jauh mereka ke Gunung Kawi, namun ternyata tanpa bisa melakukan apa-apa dan sia-sia. Santi dan Sosok Yuni yang hanya bisa memperhatikan seluruh kejadian itu mengikuti mereka dan hanya bisa memandangi. Mereka hanya bisa menyaksikan semua kejadian itu tanpa bisa berinteraksi atau melakukan sesuatu. 

Pandangan Pakdhe Adit dan Budhe Endah tampak menerawang. Terbayang rumah mereka akan segera disita oleh rentenir. Beberapa menit kemudian tanpa disadari angin berhembus agak kencang. Membuat pohon Dewandaru itu bergoyang cukup keras. Sampai akhirnya kemudian sehelai daun dari pohon itu terlepas dan melayang. Gugur perlahan dan jatuh tepat di pangkuan Pakde Adit. Pakde Adit kemudian memungut daun itu dari pangkuan nya. Hanya selembar daun di tangan nya. Akankah bisa menyelesaikan masalahnya? Apakah memang sudah direncanakan untuk jatuh di pangkuan nya? Atau memang tidak sengaja jatuh tertiup angin.

Saat masih memperhatikan dengan seksama daun pohon Dewandaru itu, tanpa disadari ada yang ganjil dengan sekelilingnya. Orang yang tadi disekelilingnya tampak lalu lalang hilir mudik, seakan sirna. Tak tampak lagi seorang pun. Bahkan suara-suara orang di sekelilingnya pun tak lagi terdengar. Belum sempat Pakde Adit dan Bulik Endah menyadari hal itu, sesosok orang tua dengan pakaian dan celana hitam-hitam tampak mendekati mereka. Kepalanya menggunakan ikat dengan campuran warna merah dan hitam. Senyumnya mengembang ke arah Pakde Adit dan Budhe Endah. Raut wajahnya menunjukkan raut urat yang keras, dan sedikit menyiratkan hawa bengis. Yuni sampai agak takut dan bersembunyi di balik bahu Budhe Endah.

“Hehehehe..... siapa kalian? Ada perlu apa datang kemari?". Pakde Adit tadinya ragu menceritakan urusan nya pada orang tua itu, tetapi entah kenapa akhirnya dirinya menceritakan semua nya pada orang itu. Orang tua itu hanya terkekeh mendengarnya.

“Kalau kalian memang ingin kaya, ayo ikut Saya. Mudah-mudahan Saya bisa bantu”. Orang tua itu lalu bersiap berbalik badan dan meminta Budhe Endah dan Pakdhe Adit mengikutinya.

“Tapi Mbah siapa?”, Budhe Endah sempat bertanya pada orang tua itu. Orang itu malah terkekeh makin keras. Sampai kemudian dirinya memperkenalkan diri.

“Panggil Saya Mbah Tunggul”, sahut laki-laki itu dengan gaya acuh tak acuh. Anehnya kemudian Padke Adit dan Budhe Endah dengan cepat kemudian mengikuti laki-laki tua itu. Mereka berjalan naik ke arah atas, ke tempat Petilasan Sri Prabhu Kameswara. Sebetulnya dari arah petilasan itu tidak ada jalan lanjutan lagi, tetapi entah kenapa saat bersama Mbah Tunggul mereka bisa berjalan melewati sebuah gerbang kecil yang terbuka dan menuju jalan berupa anak tangga. Anak tangga seperti menembus jalan melewati bukit dan semak belukar di belakang petilasan Sri Prabhu Kameswara. Santi dan sosok Yuni seperti juga ikut berjalan mengikuti mereka dari belakang. Santi jadi penasaran, apa yang akan dilakukan oleh Mbah Tunggul pada Pakde Adit dan Bulik Endah.

Sampai kemudian mereka sampai di pelataran sebuah gua yang cukup besar, di kiri dan kanan gua itu ada banyak kandang hewan. Seperti kandang sapi, kandang bebek dan kandang ayam. Di dalam gua itu ada singgahsana. Di kiri dan kanan singgahsana ada seperti payung yang dihiasi bunga ronce. Kemudian ada beberapa jambangan yang didalamnya ada jambangan yang berisi air dan kembang setaman. Aroma dupa dari anglo yang berisi kemeyan yang mengepulkan asap memenuhi ruangan. Singgahsana itu sendiri berbalut warna kain merah dan emas dan terletak di atas dua undak-undakan seperti anak tanggal kecil yang dihiasi karpet warna bercorak warna ungu.

“Selamat datang di tempat Saya. Saya adalah Mbah Tunggul. Penguasa pesugihan yang biasa dicari orang di tempat ini. Kalian sekarang telah terpilih untuk menerima kekayaan dari Saya....”. Kata-kata Mbah Tunggul membuat wajah Budhe Endah dan Pakdhe Adit seketika cerah dan senang. Tidak disangka-sangka ternyata mereka malah bisa bertemu langsung dengan Mbah Tunggul yang merupakan penguasa Gunung Kawi yang sering disebut-sebut orang bisa memberikan kekayaaan. Atau dalam kata lain Pesugihan.

“Sekarang kalian tinggal melakukan syarat terakhir dari Saya. Setelah ini kalian hanya cukup melakukan selamatan dan sajen tumpeng bebek. Kemudian berikan sajen tumpeng itu sebagai nasi berkat bagi orang-orang yang datang di Gunung Kawi ini”. Betapa terkejut nya kedua suami istri itu mendengar kata-kata Mbah Tunggul. Mereka pikir Mbah Tunggu akan membantu mereka memenuhi syarat itu. Ternyata malah Mbah Tunggul malah meminta mereka untuk tetap memenuhi syarat itu.

“Tapi Mbah, kami tidak punya uang untuk membeli sajen itu maupun uang untuk menyediakan sajen itu. Uang kami saat ini sangat terbatas”. Pakdhe Adit memohon dengan sangat memelas. Sedangkan Budhe Endah sudah pasrah dan kembali putus asa.

“Hahahaha.......Kalian tidak usah khawatir. Bebeknya sudah tersedia. Kalian tinggal sembelih, lalu kalian boleh menggunakan alat-alat masak di belakang untuk mengolahnya. Coba lihat ditengah di antara kalian”. Mbah Tunggul bicara sambil tertawa. Betapa senang nya Budhe Endah dan Pakdhe Adit saat mengarahkan pandangan mereka ke tengah. Seekor Bebek yang cukup gemuk dan besar entah bagaimana tiba-tiba muncul.

Mbah Tunggu menyerahkan sebilah pisau besar untuk menyembelih bebek itu. Sementara Budhe Endah dengan sigap memegangi leher dan tubuh bebek itu. Tentu saja bebek itu jelas meronta-ronta. Sepertinya mengerti kalau dirinya akan disembelih. Sedangkan Santi yang melihat pemandangan itu hanya berteriak-teriak panik. 

Dirinya berusaha mencegah Pakde Adit dan Budhe Endah melakukan aksinya. Namun tubuhnya seperti tidak memiliki raga. Suara nya tidak bisa didengar mereka. Tubuhnya tidak bisa menyentuh dan hanya menembus apa pun saat berusaha mencegah Budhe Endah dan Pakdhe Adit. Karena yang dilihat oleh Santi yang hendak disembelih itu bukan lah bebek, melainkan Yuni yang tampak ketakutan dan menangis. Anak kecil itu hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak.

“Bu... Ibu... Ini Yuni Ibu.... Jangan sembelih Yuni..... Tolong Pak... Bapak Yuni jangan dipotong.... Ini Yuni.....”. Tapi Budhe Endah dan Pakdhe Adit sepertinya sudah di bawah pengaruh Mbah Tunggul. Mereka tidak lagi melihat Yuni di hadapan mereka. Yang terlihat hanyalah seekor bebek yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“Jangaaaaaaannnnnn!!!!”. Santi berteriak keras. Saat Pakdhe Adit mulai menggerakkan pisau besar itu di leher Yuni. Darah langsung muncrat keluar dari leher Yuni. Dirinya langsung meregang nyawa. Tubuhnya kemudian dikuliti dan dipotong-potong.

“Begitulah caraku meninggal Mbak”. Sosok Yuni yang ada disebelah Santi berkata lirih. Pandangan nya tampak berkaca-kaca. 

Setelah itu semua kemudian gelap. Santi kemudian seperti tersadar dan terbangun dari tidur. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 6:30. Beberapa pemandangan lalu berkelebatan di dalam kepalanya. Bayangan pemandangan Budhe Endah mengolahnya potongan tubuh Yuni menjadi sajian untuk membuat sajen Tumpeng Bebek. Tumpeng Bebek itu di bawah ke pelataran Gunung Kawi lalu dibagikan kepada orang-orang yang ada di situ sebagai oleh-oleh atau nasi berkat. Persis selamatan.
DMI SIDE STORY : TANGISAN ARWAH 4

Spontan kemudian Santi berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Bayang-bayang itu seketika membuatnya mual. Dirinya kemudian langsung mengambil ponsel dan menghubungi Yowan. Hari itu pokoknya dirinya harus bertemu dengan Yowan.

Siang itu Santi dan Yowan kemudian bertemu di rumah makan Warung Steak di daerah Samirono. Yowan hanya tersenyum-senyum melihat Santi. Dirinya sebenarnya sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Yuni. Bahkan dirinya sudah mengetahui kalau Santi akan menghubungi nya kemudian.

“Sialan.....”. Santi hanya bisa mengumpat saat dirinya bertemu dengan Yowan. Sementara Yowan hanya tergelak-gelak tak karuan.

“Tapi bagaimana mungkin Mbak Yowan. Semua orang sepertinya melupakan Yuni. Bahkan menganggap Pakde Adhit dan Budhe Endah tidak pernah punya anak”. Yowan hanya memandang datar ke arah Santi. Dirinnya sebenarnya punya pikiran kalau Santi sudah tahu jawaban nya

“Itu karena kekuatan Mbah Tunggul dari Gunung Kawi.....”. Sahut Yowan ringan. Santi hanya bisa lemas mendengarnya. Kejam, hanya kata-kata itu yang keluar dari dalam lubuk hati dan pikiran nya. Dirinya tidak habis pikir kemudian kalau kekayaan yang didapatkan oleh Pakdhe Adit dan Budhe Endah adalah hasil dari pesugihan Gunung Kawi, dengan mengorbankan Yuni anak mereka sebagai tumbal.

“Makhluk Pesugihan itu memang seperti itu. Kejam, jahat dan tidak pandang belas kasihan. Mbah Tunggul sendiri terkenal sebagai petani dan peternak di alam siluman Gunung Kawi. Dan yang diternak kan adalah para korban-korban pesugihan nya sendiri. Korban-korban pesugihan nya tidak ada beda nya ibarat sapi, bebek atau ayam. Para pelaku pesugihan yang akhirnya menjadi korban atau tumbal pamungkas biasanya diibaratkan adalah sapi yang besar dan gemuk. Saat dirinya meninggal, dirinya akan menjadi ternak di kandang Mbah Tunggul. Kemudian akan dijual kepada siluman-siluman lain yang ada di Gunung Kawi. Entah kemudian akan digunakan sebagai apa atau dikonsumsi. Yang jelas dari hasi penjualan itu Mbah Tunggu mendapatkan harta dan uang dari siluman lain. Harta dan uang itu yang kemudian diputar dan digunakan untuk memperkaya orang-orang yang meminta kekayaan kepada nya. Kedatangan Mbah Tunggul selalu ditandai dengan bunyi-bunyian seperti lonceng yang ada di leher Sapi. Itu kalung yang akan ditaruh di leher korban nya yang kemudian akan ditariknya seperti sapi”. Yowan menjelaskan itu semua panjang lebar. Santi mendengarkan itu semua dengan hati miris. Namun masih ada satu pertanyaan di benaknya.

“Lalu kenapa kemudian Yuni mendatangi Saya?”, tanya Santi kemudian.

“Yuni sekarang adalah astral pelarian. Sebelumnya sukmanya adalah jaminan bagi perjanjian pesugihan Pakdhe dan Budhe. Kemungkinan dirinya berhasil lari dari wilayah Gunung Kawi. Hal itu biasanya terjadi pada saat korban pamungkas nya sebentar lagi akan diambil oleh Mbah Tunggul”. Penjelasan Yowan membuat Santi bergidik ngeri. Dirinya sebenarnya buta dengan hal-hal seperti ini. Namun penjelasan Yowan ditambah dengan apa yang dilihatnya sebelumnya pada saat malam sebelumnya entah kenapa membuatnya sulit untuk tidak percaya. Ada rasa kasihan yang menggelayuti hatinya ketika merenungi keadaan Pakdhe Adit, Budhe Endah dan Yuni.

“Bagaimana supaya jiwa baik jiwa Pakdhe Adit, Budhe Endah dan Yuni tidak diambil oleh Mbah Tunggul?”. Pertanyaan Santi membuat Yowan sedikit bingung. Dirinya berpikir agak lama. Yowan menjelaskan kalau pelaku pesugihan hampir semuanya sudah bisa dipastikan jiwanya pasti diambil oleh jin pesugihan nya. Penjelasan Yowan membuat Santi jadi lesu dan sedih. Lama kemudian mereka berdua terdiam.

“Tapi mungkin bisa pakai cara itu.... “. Kata-kata Yowan membuat Santi kembali bersemangat. Yowan menjelaskan ada yang namanya ritual tukar guling. Yowan menjelaskan kalau ada yang namanya ritual tukar guling. Jiwa para pelaku pesugihan itu harus diritualkan dan dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan, sehingga Mbah Tunggul tidak punya kuasa lagi untuk mengambilnya.

“Tetapi berarti jiwa-jiwa mereka pada akhirnya akan menjadi abdi di laut selatan dong?”. Santi menukas kemudian. Yowan kemudian berusaha menenangkan Santi dan menjelaskan.

“Santai Mbak. Kebetulan hubungan Saya dengan Penguasa Laut Selatan lumayan dekat. Nanti Saya akan minta supaya jiwa mereka kemudian untuk dilepaskan supaya tidak terikat apa pun lagi”. Kata Yowan kemudian.

“Lalu apakah jiwa-jiwa mereka bisa kembali ke Yang Maha Kuasa”. Pertanyaan yang tidak kalah sulit untuk dijawab sebetulnya. Tapi kemudian Yowan berkata pada Santi.

“Saya tidak bisa menjanjikan Mbak. Tapi mungkin nanti bisa dibantu sama cowok ku”. Santi cukup terkejut mendengarnya.

“Cowok mu yang kemarin itu? Dia juga bisa kayak kamu?”. Santi bertanya seakan tidak percaya.

“Iya, kebetulan dia malah spesialiasi untuk pindah-pindah alam begitu”. Santi cuma bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Pasangan Indigo. Baru kali ini dia mengenalnya.

Seminggu kemudian berlalu tanpa adanya lagi penampakan atau kehadiran Yuni. Sampai akhirnya suatu malam Santi bermimpi. Dirinya berada di pinggir pantai. Di hadapan nya berdiri Pakdhe Adit, Budhe Endah dan Yuni. Mereka berpakaian putih-putih. Tampak tersenyum penuh haru dan mengucapkan terima kasih. Di dekat mereka tampak Yowan dan cowok yang pernah dilihat Santi bersama Yowan sebelumnya. Selain itu ada seorang putri dengan pakaian kerajaan warna hijau tampak juga berdiri di dekat mereka. Selain itu Santi melihat seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam dan membawa tongkat tampak berjalan menjauh sampai kemudian akhirnya menghilang

“Terima kasih Mbak Santi, terima kasih.....”. Pakdhe Adit sambil tersedu-sedu berkata kepada Santi. Begitu pula Budhe Endah dan Yuni, turut mengucapkan terima kasih. Ketiga orang yang masih satu keluarga itu kemudian berjalan mendekati cowok yang ada di sebelah Yowan. Entah apa yang mereka bicarakan, namun kemudian sebentuk sinar putih lalu datang menjemput Pakdhe Adit, Budhe Endah dan Yuni. Perlahan kemudian sinar putih membawa ketiga orang itu menghilang dari pandangan santi.

Santi kemudian terbangun. Tanpa terasa dan disadari air mata nya meleleh membasahi pipi. Ada rasa kelegaan yang muncul di dalam hatinya. Sampai kemudian sebuah telepon dari ibu nya menyampaikan kabar, kalau Budhe Endah dan Pakdhe Adit telah berpulang. Budhe Endah meninggal setelah menjalani perawatan sedangkan Pakdhe Adit meninggal mendadak tidak lama setelah Budhe Endah dinyatakan meninggal. Kata dokter Pakdhe Adit terkena serangan jantung.

Santi justru tidak sedih mendengarnya. Kabar itu disambutnya dengan datar. Entah kenapa dirinya merasa tidak ada yang perlu ditangisi. Karena dirinya sudah tahu kalau Pakdhe Adit, Budhe Endah dan Yuni sudah berkumpul layaknya keluarga di alam sana. Dirinya kemudian mengatakan akan membeli tiket sore ini untuk berangkat ke Magetan dan melayat Pakdhe Adit dan Budhe Endah.

Saat dirinya hendak keluar kos, ternyata di depan kos nya sudah menunggu Yowan dan cowoknya. Cowoknya itu lalu turun dari motornya kemudian menyerahkan sejumlah uang. Jumlahnya sekitar 400.000 rupiah.

“Mbak ini uang Saya kembalikan. Tidak ada yang harus dibayar”. Setelah menyerahkan uang, cowok itu lalu kembali ke motornya kemudian tersenyum ke arah Santi. Sementara Yowan yang ada diboncengan tampak merengut dan cemberut. Wajahnya asli masam. Santi sempat memperhatikan paras cowok itu. Wajah nya sebenarnya lumayan. Sayang dia sudah ada yang punya. Santi pun hanya bisa tersenyum memandang Yowan dan cowok itu berboncengan naik motor menjauh dari kos nya. Setelah itu Santi tidak pernah lagi diganggung penampakan apapun.

END OF SIDE STORY

No comments:

Post a Comment