Sunday, November 18, 2012

Pecel Lela


Kisah Sukses Si “Lele Lela”

Sebelum di-PHK dari jabatan manajer di sebuah perusahaan, Rangga 
Umara (31) memilih jualan pecel lele di pinggir jalan. Modal cekak 
membuat ia terjerat hutang renternir. Bagaimana jatuh-bangun Rangga 
membangun usaha bisnis RM Pecel Lele Lela? Yuk, simak kisahnya.
”Selamat Pagi!” Begitu sapaan khas di RM Lele Lela,begitu Anda masuk ke sana. 
Tak peduli Anda datang pada pagi, siang, sore, ataumalam, tetap disambut 
dengan ucapan, “Selamat pagi!” 
Begitulah aku “mendoktrin” stafku dalam menyambut tamu di rumah makan Lele 
Lela milikku. Hal itu kulakukan agar para karyawan  termotivasi dan produk yang 
disediakan selalu segar seperti segarnya suasana pagi hari. 
Lela bukanlah nama istri atau anak-anakku, melainkan singkatan dari Lebih Laku. Oh, ya, kenalkan, namaku Rangga Umara. 
Meski usiaku tergolong muda, 31 tahun, pahit getirnya membangun usaha sudah kurasakan sejak bertahun-tahun lalu, 
sebelum akhirnya RM Pecel Lele Lela dikenal luas. RM ini kudirikan sejak Desember 2006. Bolehlah kini  dibilang sukses. 
Sebab, aku telah melewati masa - masa sulit. Karenaitu, aku lebih bisa menghargai jerih payahku, menghargai hidup dan 
orang lain. 
Profesi yang kugeluti ini bisa dibilang melenceng dari pekerjaan bapakku, Deddy Hasanudin, seorang ustaz dan ibuku, Tintin 
Martini, pegawai negeri yang sebentar lagi bakal memasuki masa pensiun. 
Dulu, cita-citaku memang menjadi pengusaha. Namun,  entah kenapa akhirnya aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di 
Bandung Jurusan Manajemen Informatika. Ilmu akademis ini mengantarku bekerja di sebuah perusahaan pengembang di 
Bekasi sebagai marketing communication manager di perusahaan itu. 
Sayang, setelah hampir lima tahun bekerja, kuketahui kondisi perusahaan sedang tidak sehat. Hal itu membuat banyak 
karyawan di-PHK. Saat itulah aku tersadar, aku tinggal menunggu giliran. Karena itu aku mulai memikirkan lebih serius soal 
rencana hidupku berikutnya. Yang jelas, saat itu yang terpikir olehku, tak ingin lagi menjadi karyawankantoran karena 
sewaktu-waktu bisa menghadapi masalah PHK lagi. 
Nekat Wirausaha
Akhirnya, aku bertekad ingin membuka usaha sendiri.Sayangnya aku bingung mau berbisnis apa. Sebelumnya, aku pernah 
membuka beberapa usaha kecil-kecilan, antara lain penyewaan komputer, tapi bisnisku selalu gagal. Setelah kupikir-pikir, 
kuputuskan membuka usaha di bidang kuliner. Alasannya sederhana saja, aku suka sekali makan. 
Aku memilih membuka warung seafood seperti yang banyak ditemukan di kaki lima. Modalkuhanya Rp 3 juta. Uang itu 
kuperoleh dari hasil menjual barang-barang pribadiku ke teman-teman, antara lain telepon genggam, parfum, dan jam 
tangan. Sampai sekarang, barang-barang itu masih disimpan mereka, katanya buat kenang-kenangan. Istriku, Siti Umairoh 
yang seumur denganku, mendukung keputusanku. 
Awalnya, ia pikir aku hanya berbisnis sampingan saja seperti sebelumnya, karena aku mulai berjualan sebelum 
mengundurkan diri dari perusahaan. Ia kaget ketika aku benar-benar menekuni bisnis ini, meski tetap saja ia mendukung. 
Yang keberatan justru orang tuaku. Mungkin mereka khawatir memikirkan masa depan anaknya yang jadi tidak jelas. 
Maklum aku yang sebelumnya kerja kantoran dengan berbaju rapi, malah jadi terkesan luntang-lantung tidak jelas. 
Warung semi permanen berukuran 2x2 meter persegi kudirikan di daerah Pondok Kelapa. Lantaran modal pas-pasan, aku 
mencari yang sewanya cukup murah, sekitar Rp 250 ribu per bulan. Aku mempekerjakan tiga orang, dua di  antaranya 
adalah suami-istri. Berbeda dari warung seafooddi kaki lima yang umumnya bertenda biru dan berspanduk putih, 
warungku kudesain unik. 
Ternyata, desain unik tak membantu penjualan. Tiga  bulan pertama, hasil penjualan selalu minus. Tak satu pun pembeli 
datang. Aku mencoba berbesar hati, mungkin warungkusepi lantaran banyak yang tidak tahu keberadaan warung tendaku 
itu. Aku mulai melirik lokasi lain yang lebih ramai. Kutawarkan sistem kerjasama dengan rumah makan dan warung lain, tapi 
selalu ditolak. 
Sampai suatu hari, aku mendatangi sebuah rumah makan semi permanen di kawasan tempat makan, masih di kawasan 
Pondok Kelapa. Seperti yang lain, pemilik rumah makan ini juga menolak tawaran kerjasamaku. Ia justru  menawariku 
membeli peralatan rumah makannya yang hendak ia tutup lantaran sepi pembeli. Aku menolak, karena tak punya uang. 
Akhirnya, ia menawarkan sewa tempat seharga Rp 1 juta per bulan. Aku pun setuju. 
Mirip Pisang Goreng
Bulan pertama buka usaha, mulai tampak hasilnya. Pembeli mulai berdatangan. Aku tahu, usaha yang bisa  sukses dan 
bertahan adalah usaha yang punya spesialisasi. Kuputuskan untuk berjualan pecel lele, makanan favoritku sejak kuliah. Ya, 
semasa kuliah dulu, aku rajin berburu warung pecel lele yang enak. Kupikir, orang yang khusus berjualan makanan dari lele 
belum ada. 
Lagi-lagi, nasib baik belum sepenuhnya berpihak kepadaku. Begitu aku berjualan lele, yang laku justru  ayam. Kalau menu 
ayam habis, pembeli langsung memilih pulang. Namun,aku tak mau menyerah. Karena aku tahu lele itu enak. Jadi, ketika 
para pembeli duduk menikmati hidangan, aku berkeliling meja, minta mereka mencicipi lele hasil masakankami. Syukurlah, 
mereka berpendapat masakannya enak. 
Dari situ, aku berusaha lebih giat untuk memperkenalkan masakan lele. Aku berusaha menonjolkan kelebihan lele yang 
terletak pada dagingnya yang lembut dan gurih. Untuk menutupi kekurangan tampilan fisik lele yang mungkin kurang 
menarik, lelenya aku baluri tepung lalu digoreng. Hasilnya? Gagal total! 
Kuamati lele berbalur tepung itu. He..he..he.. ternyata memang mirip pisang goreng. Aku pantang menyerah. Kucoba lagi 
menggoreng lele dengan tepung. Kali ini, digoreng dengan telur dan melalui beberapa kali proses. Alhamdulillah, sukses! 
Pembeli makin suka makan lele olahan kami. Pelangganku yang suka makan ayam, mulai beralih ke lele tepung. 
Setelah tiga bulan pindah ke tempat baru itu, pendapatan rumah makanku meningkat menjadi Rp 3 juta perbulan. Aku 
sangat bersyukur. Dari situ aku berpikir untuk lebih total menekuni bisnis ini. Apalagi bila dibandingkan dengan 
penghasilanku sebagai karyawan kantoran yang cuma “tiga koma”. Maksudnya, setelah tanggal tiga, lalu “koma” Ha… ha.. 
ha… 
Terjebak Rentenir
Tahu usahaku laris, pemilik rumah makan menaikkan biaya sewa jadi dua kali lipat, yaitu Rp 2 juta per  bulan. Aku mulai 
merasa seolah-olah bekerja untuk orang lain karena hasil yang kuraih hanya untuk membayar sewa tempat.
Masalah bertambah lagi karena aku juga harus memikirkan gaji karyawan. Kuputar otakku guna mendapatkanuang untuk 
membayar gaji karyawan. Aku sudah mantap tidak akankerja kantoran lagi. Sebab ada tiga orang karyawanyang 
menggantungkan nasibnya padaku. 
Aku mencoba tetap bertahan, walaupun pendapatanku masih minus. Saking pusingnya, di awal 2007 aku nekat berhutang 
pada seorang rentenir sebesar Rp 5 juta, sekadar untuk menggaji karyawan. Aku berprinsip, dalam kondisi seperti apa pun, 
karyawan tetap harus diprioritaskan. 
Setelah berkali-kali jatuh bangun merintis Pecel Lele Lela, akhirnya Rangga mulai mereguk manisnya madu berbisnis 
kuliner. Usahanya kian menanjak, terutama setelah banyak orang tertarik menjadi pewaralaba Pecel Lele Lela. 
Syukurlah, masalah demi masalah yang menimpa usahaku satu per satu berhasil kulalui. Selain pantang menyerah setiap 
kali bertemu masalah, aku juga tak ingin terfokus pada masalah yang sedang kuhadapi. Aku lebih suka mencari peluang 
untuk membuka jalan keluar. Bukannya lari dari masalah, lho. Cara seperti ini justru membuatku terus berpikir optimis dan 
semangat mencari solusi terbaik. 
Berkat lele goreng tepung andalan, rumah makanku semakin ramai pengunjung. Pecinta lele dari berbagai kawasan datang 
ke rumah makanku di Pondok Kelapa untuk menikmatinya. Senang rasanya melihat perubahan positif ini, terutama bila 
mengingat bulan-bulan pertama yang sepi pembeli. Ini membuatku makin bersemangat mengajak kerjasama dengan lebih 
banyak orang lagi. 
Sehingga, akhirnya aku bisa segera pindah dari tempat makan pertama yang kusewa seharga Rp 2 juta per  bulan. Menu 
lele yang disediakan pun makin beragam, antara lainlele goreng tepung, lele fillet kremes, dan lele saus padang. Tiga menu 
inilah yang jadi andalan kami, bahkan jadi favorit pembeli hingga kini. 
Namun, di balik kesuksesanku, cobaan kembali menimpa. Salah satu kokiku berhenti bekerja. Belakangan,  aku tahu 
ternyata ia membuka usaha sejenis sepertiku. Apakahaku marah? Tidak. Aku justru kecewa mengapa ia tak
memberitahuku sejak awal. Kalau saja tahu, aku pasti akan mendukungnya. Tak bisa kita berharap orang akan seterusnya 
loyal bekerja pada kita. Aku senang, kok, melihat orang lain maju. 
Aku juga senang bila usahaku bisa menginspirasi danbermanfaat bagi orang lain. Bagiku, rezeki sudah ada yang mengatur. 
Bahkan ketika saat ini banyak orang berbisnis kuliner lele sepertiku, aku tak menganggap mereka sebagai ancaman. Ini 
justru memotivasiku untuk terus berusaha lebih baik. Namun, tak urung aku kelimpungan dengan mundurnyasang koki. 
Apalagi, saat itu rumah makanku mulai ramai. 
Istriku kini juga ikut membantu mengembangkan usahaku. 
Buka Waralaba
Berkat kerja keras para karyawan, rumah makanku tetap bisa berjalan seperti biasa. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ke 
rumah orangtuaku di Bandung, aku mampir ke sebuah restoran cepat saji asal Amerika. Di situlah aku bertemu Bambang, 
teman lamaku saat SMA. Dulu, kami sering main basket bareng. Rupanya, Bambang bekerja di restoran itu  sebagai 
manajer. 
Aku lalu bercerita, aku sudah punya rumah makan danmempersilakannya untuk mampir bila ada waktu. Tak  disangka, 
beberapa minggu kemudian ia datang berkunjung ke rumah makanku yang sebetulnya lokasinya sangat jauh dari tempat 
kerjanya. 
Dari situlah kami banyak mengobrol soal bisnis rumah makan. Aku juga curhatsoal kebingunganku sebelumnya ketika 
ditinggal koki. Bambang lalu banyak memberi masukan, bagaimana mengelola sebuah rumah makan. Tertarik  dengan 
saran-sarannya, akhirnya aku menjadikannya sebagai konsultan, meski kecil-kecilan. 
Sebagai honornya, aku mengganti uang bensinnya. Ia  membantuku membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) 
menjalankan rumah makan. Dengan cara seperti ini, aku tak lagi kelimpungan bila ditinggal koki. Bambang juga melatih 
para karyawan sehingga mereka bekerja lebih profesional, sesuai SOP. 
Peran Bambang memang cukup besar. Rupanya, ia menaruh perhatian pada rumah makanku ini, sehingga akhirnya ia 
berhenti bekerja dari tempatnya bekerja dan pindah kerja padaku. Bahkan, temannya banyak yang mengikuti jejaknya. Kini, 
Bambang jadi General Manager untuk Pecel Lele Lela.
Syukurlah, dengan adanya SOP ini, usahaku jadi makin berkembang. Aku bisa membuka cabang lagi. Istrikujuga ikut 
membantu usahaku. Bahkan, atas permintaan banyak orang, sejak 2009 Pecel Lele Lela mulai kuwaralabakan. Sebenarnya, 
aku tak punya rencana untuk mewaralabakannya. Namun, para peminat justru mendukungku untuk melakukannya. 
Usahaku tak sia-sia, tahun lalu aku mendapat penghargaan dari Menteri UKM. 
Raih Penghargaan
Banyaknya permintaan bisnis waralaba, membuatku akhirnya tak bisa menolak untuk mewaralabakan Pecel Lele Lela. Ya, 
hitung-hitung lebih memperkenalkan rumah makanku kepada lebih banyak orang sekaligus bagi-bagi rezeki.Meski awalnya 
permintaan waralaba hanya berasal dari Jabodetabek,kini mulai merambah ke daerah. Di antaranya, Bandung, Yogyakarta, 
Karawang, dan Purwokerto. 
Beberapa cabang lagi akan dibuka dalam waktu dekat,di Medan dan beberapa kota lain. Bahkan, sudah adapermintaan 
waralaba dari orang-orang Indonesia yang tinggal diJeddah, Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Rencananya, cabang-cabang di luar negeri akan direalisasikan tahun ini. Alhamdulillah, kini Pecel Lele Lela telah memiliki 27 cabang, 3 di 
antaranya adalah milikku sendiri. 
Nama Lela sendiri sebenarnya bukan nama istriku atau anak-anakku. Kedua anakku laki-laki, Razan Muhammad (2,5) dan 
Ghanny Adzra Umara (1,5). Lela hanyalah sebuah singkatan, yaitu Lebih Laku. Ini sekaligus menjadi doa  buatku, agar 
usahaku makin lancar. Alhamdulillah, Ramadan lalu Pecel Lele Lela ikut mengisi menu acara buka bersamayang diadakan 
Presiden SBY di Istana Negara, yang dihadiri para menteri dan duta dari negara sahabat. 
Selain itu, tahun lalu aku juga menerima penghargaan dari Menteri Perikanan dan Kelautan karena usahaku dinilai paling 
inovatif dalam mengenalkan dan mengangkat citra lele dengan menciptakan makanan kreatif sekaligus mendorong 
peningkatan konsumsi ikan. Penghargaan lain yang juga kuraih, Indonesian Small and Medium Business Entrepreneur 
Award (ISMBEA) 2010 dari Menteri Usaha Kecil dan Menengah. 
Dua penghargaan ini makin memotivasi diriku untuk lebih bekerja giat sekaligus senang karena usahaku membuat lele jadi 
menu modern ternyata tak sia-sia. Kini, selain sibuk mengembangkan Pecel Lele Lela, aku juga kerap diundang jadi 
pembicara di berbagai seminar, termasuk di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Senang rasanya berbagi  ilmu, agar 
mereka kelak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. 
Mentraktir karyawan makan di restoran lain jadi salah satu caraku menghargai hasil kerja mereka. 
Gratis Makan
Cita-citaku untuk jadi pengusaha kini tercapai sudah. Asal tahu saja, dulu aku pernah bermimpi punya rumah makan 
dengan konsep seperti restoran cepat saji terkenal.Kini, pelan-pelan mimpi itu mulai terwujud. Aku sendiri tak pernah 
membayangkan usahaku akan sesukses ini. Banyak orang bilang, kesuksesanku terbilang cepat datangnya. 
Aku sangat bersyukur, kini omzet seluruh cabang mencapai Rp 1,8 miliar per bulan, mengingat dulu aku punya banyak rasa 
takut untuk memulai. Sampai kini, aku masih memegang keyakinan, jika kita mau fokus dalam melangkah, pasti akan 
sukses. 
Prinsipku yang lain sejak memulai usaha adalah selalu mengawali sesuatu dengan akhir yang positif. Maksudnya, aku selalu 
memikirkan bagaimana nanti kalau usahaku sukses, bukan sebaliknya. Dengan demikian, aku selalu optimis. 
Inovasi juga harus jadi kebiasaan, selain terus meningkatkan kualitas dan pencitraan Pecel Lele Lela.  Itu sebabnya, kini aku 
sedang menggodok konsep baru untuk jangka panjang.  Diversifikasi menu dan pencitraan Pecel Lele Lela sendiri juga 
semakin kupikirkan. 
Kini, ada banyak pilihan menu lele di Pecel Lele Lela. Untuk menarik hati pembeli, Pecel Lele Lela juga menggratiskan 
hidangannya bagi pembeli yang berulang tahun di hari kedatangannya. Dan, pembeli bernama Lela juga akan mendapat 
keistimewaan berupa makan gratis seumur hidup. Menarik, bukan? 
Namun, kesuksesan yang kuraih bukan semata-mata kematangan konsep dan kelezatan menu saja, lho. Para karyawan 
juga punya andil besar. Itu sebabnya, penting bagiku membuat mereka betah dan bekerja dengan hati. 
Sebagai penghargaan, tak jarang mereka kutraktir makan di restoran lain. Jika hati senang, mereka jugapasti akan bekerja 
dengan semangat. Oh ya, soal logo Pecel Lele Lela yang sempat diprotes kedai kopi asal Amerika karena  dianggap mirip, 
juga sudah kuganti sejak membuka cabang ke-16. Doakan aku makin sukses, ya! 

No comments:

Post a Comment