Tidak perlu kaget ada warung semacam itu, sebab Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa yang masih memberi ruang bagi ekspresi spiritualitas tradisional.
Wuryanti menata dagangannya. Semua foto oleh penulis.
Mendung menyapu langit bilangan Wirobrajan, Yogyakarta. Tak berapa lama, warung kecil di ujung jalan R.E Martadinata dikepung gerimis. Di tengah rintik hujan, sepeda motor bebek tua dari era 90-an mendekat ke halaman depan warung. Turun dari kendaraan itu, sosok Heri Purwanto, berpakaian surjan lengkap dengan blangkonnya.
Heri, abdi dalem Keraton Yogyakarta, hendak membeli keperluan ritual di warung yang memasang plang dengan nama mencuri perhatian siapapun: Warung Makanan Roh Halus. Barang-barang yang dijual oleh kios langganannya ini menurut Heri sangat penting untuk pelaksanaan bermacam prosesi ritual keraton yang rutin dijalankan nyaris setiap hari. Terutama pasokan bunga-bunga semacam kantil, kamboja, dan mawar merah maupun putih yang digemari roh halus untuk melancarkan upaya manusia berkomunikasi dengan mereka.
"Memang banyak yang jual semacam ini di Yogya, tapi kalau di sini beda," kata Heri. "Bunganya masih segar dan wanginya awet."
Kios ini tak berusaha mencari sensasi dari namanya. Mereka memang menjual barang-barang yang berhubungan dengan dunia gaib. Tampak wadah-wadah berisi bunga mawar merah dan putih yang biasa digunakan untuk ziarah maupun ritual pengusiran mahluk halus, berjejer di depan kios. Di belakangnya, sebuah lemari kaca memperlihatkan keperluan prosesi spiritual Jawa lainnya, seperti dupa dan kemenyan. Sang pemilik, Bambang Siswanto (50) sengaja memberi nama tersebut sebagai pembeda dari kios sejenis. Di Yogyakarta, kota yang masih menjunjung tinggi adat Jawa, sebetulnya ada beberapa kios sejenis yang menjajakan kembang dan dupa. Karenanya, nama toko yang unik seperti itu penting sebagai pembeda.
"Nama kios ini jadi lebih mudah diingat dan bahkan bisa membuat penasaran," ujarnya.
Bersama sang istri, Tri Wuryanti (46), Bambang meneruskan usaha yang telah dibangun almarhum ibunya sejak 1982. Menjalankan usaha ini menuntut Bambang berhubungan dengan dunia gaib. Melihat hal-hal gaib bukanlah sesuatu yang baru bagi Bambang. Sejak kecil, ia memperoleh bakat itu dari kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai guru spiritual. Dari merekalah Bambang melatih kemampuannya secara terus menerus. Dulu sewaktu SMA, Bambang sering melawan dukun-dukun santet yang menantangnya. "Kalau sudah begitu rasanya saya sudah hebat sekali," kenangnya. Hingga kini, Bambang masih harus 'bertarung' melawan roh halus. Kadang dia dimintai bantuan oleh kenalan. Paling banyak permintaan yang datang untuk menyembuhkan pelanggan yang terkena santet. "Makanya saya paling dibenci dukun santet karena selalu menggagalkan santet mereka," ujarnya berkelakar.
Kepercayaan dan cara membangun hubungan dengan mahluk gaib, salah satu bagian dari praktik kejawen, masih bertahan sampai sekarang. Survei menunjukkan 69 persen penganut Islam di Indonesia meyakini ilmu gaib. Salah satu pusat spiritualitas tradisional itu adalah Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa.
Namun, lambat laun, modernitas serta pengaruh Islam menggerus jumlah penduduk yang mempercayai kepercayaan tradisional yang kerap dijuluki klenik itu. Bambang berpikir untuk berhenti, karena jumlah pembeli bunga dan kemenyan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haramuntuk praktik-praktik klenik, termasuk santet, karena bertentangan dengan akidah Islam.
Setelah melalui bermacam pertimbangan, Bambang memutuskan berjuang mempertahankan usaha turun temurun ini. Ia melihat, seiring perkembangan zaman orang-orang Jawa justru kembali ke tradisi dan budaya mereka. "Sebetulnya, tradisi itu tidak bisa dilepaskan dari orang Jawa apapun agamanya," ungkapnya.
Terkait hal ini, peneliti budaya kejawen sekaligus guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta Suwardi Endraswara, urun pendapat. Menurutnya, budaya sudah ada jauh sebelum manusia mengenal agama. Budaya menjadi dasar dari segala kehidupan manusia apapun latar belakangnya. "Mau mengakui atau tidak, semodern apapun seseorang pasti akan kembali ke budayanya masing-masing," kata Suwardi.
Sebagian orang masih memaknai agama dan budaya secara terpisah. Agama dianggap murni wahyu dari Tuhan sehingga tidak bisa bersatu dengan kebudayaan yang diciptakan manusia. Padahal keduanya sama-sama berangkat dari konsep spiritualitas. "Di dalam agama ada kebudayaan dan di dalam kebudayan terdapat banyak nilai-nilai spritualitas," kata Suwardi. Lantaran dimaknai sepenggal, pandangan ini menganggap musyrik orang yang mencampurkan agama dengan ritual kebudayaan.
Antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, pernah meneliti kedekatan budaya Jawa dan mistik. Mereka yang masih menjalankan ritual kebudayaan ia sebut sebagai abangan. Kelompok abangan identik dengan kepercayaan mereka terhadap roh dan makhluk halus. Dalam beragama, abangan masih mencampuradukkan ibadah dengan tradisi lokal. Namun, Suwardi menghimbau agar tidak menyalahartikan sikap kelompok abangan. "Bukan berarti abangan itu musyrik. Kadang-kadang mereka justru lebih khusyuk beragama dibandingkan orang lain," kata Suwardi.
Senada dengan Suwardi, Heri merasa menjalankan ibadah agama sekaligus tradisi bukanlah tindakan musyrik. "Karena mau pakai sesajen apapun, berdoanya juga tetap kepada Tuhan," tuturnya. Artinya, hanya perantara ibadah saja yang membedakan keduanya.
Kini, Warung Makanan Roh Halus melebarkan sayap mengembangkan usaha jamu godok, untuk menambah pemasukan. Jamu hasil ramuannya sendiri ini diklaim Bambang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti alergi, asma, bahkan diabetes.
Berkecimpung di usaha yang berbau mistis dan kental dengan tradisi Jawa diakui pasangan suami istri ini tidak mudah. Menurut Wuryanti, zaman yang semakin modern semakin melunturkan tradisi Jawa. Apalagi, kritik dan seruan menghapus praktik klenik dari keraton mulai banyak disuarakan oleh media dan penganut Islam di medsos.
"Kalau dulu orang Jawa ingat kejawaannya. Sekarang sudah mulai lupa," tutur wanita berkacamata ini.
No comments:
Post a Comment