Sunday, July 8, 2018

EKSORSIS 24 JAM MELAWAN SETAN

Ini bukan adegan film The Conjuring atau film soal hantu-hantu di Indonesia. Ini kisah nyata di Indonesia. Seorang perempuan muda menatap lurus ke arah Lukas Bagus Taufik Dwiko Nanda Pratisto. Seolah mengajak duel, ia meninggikan wajahnya lebih dekat ke arah Romo Dwiko, begitu pria itu disapa. Dia melotot, seolah-olah bola matanya hendak melompat dari tempatnya.
Namun sejurus kemudian, sikap perempuan ini mulai melembek. Mulutnya tak lagi menggeram, tangan-tangan yang mencengkeram kuat pun mulai kendor. Ia malah melemparkan senyum dan menyapa hangat Romo Dwiko. Layaknya dua sahabat karib yang sudah tidak lama bersua. “Hai Romo, how are you?” dia menyapa dalam bahasa Inggris. Tak menggubris perempuan itu, Romo Dwiko terus membacakan doa dari sebuah buku saku. Sembari tangan kanannya menekan salib ke atas dahi sang perempuan, Romo Dwiko mencoba mengusir setan yang merasuki tubuhnya.
Sontak seluruh sudut ruangan dipenuhi suara jerit kesakitan. Bak seekor hewan yang disembelih mendekati sekarat. Anehnya, suara teriakan si perempuan mendadak berubah berat layaknya seorang laki-laki. “Stop it Romo! I hate you, you are stupid!” suara itu membentak. Jika tubuh perempuan ini tak dipegangi, entah hal buruk apa yang akan menimpa Romo Dwiko. Pada setiap sesi eksorsisme, ritual pembebasan dari setan, Romo Dwiko memang tidak pernah sendiri. Ia biasa ditemani sepuluh orang yang bertugas sebagai pendoa sekaligus penyanyi, enam orang yang memegangi orang kerasukan serta ditemani seorang romo eksorsis.
“Perempuan itu dirasuki Lucifer, malaikat yang jatuh alias the fallen angel. Lucifer agak kesulitan bicara dalam bahasa Indonesia. Makanya dia bicara dalam bahasa Inggris. Kadang dia berbicara dalam bahasa Spanyol, Italia Latin atau Ibrani. Untuk mengelabui kita agar tidak mengerti tujuannya,“ Romo Dwiko menuturkan beberapa waktu lalu di Pastoral Mahasiswa Surakarta atau Parmas, Jawa Tengah, terletak persis di belakang kantor Radio Republik Indonesia. Salah satu ciri orang kerasukan setan, menurut dia, adalah mendadak mampu berbicara dalam berbagai macam bahasa, termasuk bahasa kuno.
Orang mungkin kebanyakan mengenal eksorsisme dari film-film Hollywood, seperti The Exorcist, Constantine, The Conjuring, The Vatican Tapes, dan sebagainya. Apa yang dialami dan dilihat Romo Dwiko sebagai seorang eksorsis kadang lebih seram dari cerita di film. Kepada DetikX, Romo Dwiko menunjukkan beberapa rekaman video eksorsisme yang pernah dia lakukan pada 2014. Romo Dwiko memperingatkan untuk tidak mempublikasikan video ini. Dia sengaja merekam ritual pengusiran setan yang dia lakukan sebagai bukti bahwa eksorsisme memang dilakukan di Kapel St. Maria Magdalena, rumah ibadah yang menjadi bagian dari Parmas.
Pada dasarnya konsep ritual eksorsisme ini dipusatkan pada doa, memohon bantuan Tuhan untuk memulangkan setan ke rumahnya di neraka. Doa yang dipanjatkan, menurut Romo Dwiko, bukan untuk membuat setan bertobat, tapi justru untuk menggebahnya pergi. Dan biasanya setan tak dengan sukarela pergi dari orang yang dirasukinya. Orang yang kerasukan setan, saat dihadapkan dengan eksorsisme, memberikan reaksi yang berbeda-beda, di luar nalar dan logika. Ada yang mengamuk dan mengumpat, bahkan ada yang merasa punya sayap dan bisa terbang.
Sejak tahun 2014, tak terhitung lagi berapa banyak setan yang telah ditemui Romo Dwiko. “Setan itu ada ribuan jenis. Tapi bukan seperti yang kamu lihat di televisi. Mereka punya hierarki. Misalkan Lucifer, dibawahnya ada Belial, Beelzebul, Astaroth, dan lain-lain. Mereka bergerak dalam legion alias bala tentara. Jadi ketika seseorang dirasuki, bukan hanya ada satu setan tapi jumlahnya banyak. Ada koordinator lapangan, ada bawahannya,” kata Romo Dwiko. Belakangan, Romo Dwiko merasa kasus yang ia tangani makin kompleks dan berat. “Kalau dulu keroconya yang paling awal keluar. Kalau sekarang langsung sikat bossnya. Saya bertemu Lucifer langsung keluar saja sudah delapan kali.”
Dalam refleksi diri, Romo Dwiko baru sadar jika dia pernah berjumpa dengan Lucifer, bahkan jauh hari sebelum ia bergabung dengan Serikat Jesus (SJ) dan ditahbiskan menjadi imam. Perjumpaan Romo Dwiko dengan si setan ini terjadi ketika masih menempuh pendidikan SMA di sekolah swasta di Bandung, Jawa Barat. Ayahnya yang seorang tentara mendapat rumah dinas di Jalan Gedung Empat Cimahi. Romo Dwiko menempati kamar yang konon angker. Benar saja, malam hari ketika sedang terlelap dalam tidur, Romo Dwiko mendadak terbangun dan melihat penampakan.
Romo Dwiko terpaku memandang sosok menyerupai manusia dengan sekujur tubuh penuh darah merah dan nanah, persis seperti orang habis dikuliti. “Dia melihat saya, tatapannya marah sekali, hanya sebentar tapi jantung saya sudah kayak mau copot. Sekarang baru saya sadari sosok itu merupakan Lucifer. Dia tahu kalau suatu saat saya akan jadi rintangannya. Berarti ini memang panggilan hidup saya,” ujar Romo Dwiko. Selain sebagai eksorsis, sehari-hari dia mengajar mata kuliah agama Katholik di Universitas Sebelas Maret (UNS).
Ada banyak cerita bagaimana Dwiko menjadi seorang pendeta Katholik dan seorang eksorsis. Dia dibesarkan di tengah keluarga muslim, namun kedua orang tuanya tak pernah membatasinya mengenal agama lain. Karena tumbuh di lingkungan sekolah Katholik, ketika masih SMP, dia minta dibaptis secara Katholik. Setelah lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dwiko sempat mendapatkan posisi enak di berbagai perusahaan besar. Tapi dia merasa, jalan hidupnya bukan di sana.
Dia ingin mengabdikan hidup untuk agama. Namun ketika menyampaikan keinginan memilih hidup sebagai imam Katholik, sang ibu sempat tak rela melepaskan anaknya yang sudah hidup mapan. Tak disangka, Romo Dwiko kini justru mengemban misi khusus sebagai romo eksorsis. Keuskupan Agung Semarang telah memberikan kuasa penuh kepada Romo Dwiko untuk melakukan eksorsisme. Di lingkungan Gereja Katholik, hanya pastor yang mendapat izin dari Keuskupan yang boleh melakukan eksorsisme. Hal ini tertera dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katholik. Uskup setempat akan memilih imam dengan beraneka ragam persyaratan, di antaranya memiliki integritas hidup, pengetahuan, menjaga pola hidup kesalehan, kesederhanaan, dan kehati-hatian.
Secara teologis, menurut Romo Dwiko, manusia diciptakan baik serupa citra Allah. Artinya setan tidak akan bisa menganggu. Namun ada hal tertentu yang dapat merusaknya, yaitu melalui perjanjian atau kontrak dengan setan. Perjanjian ini bisa dilakukan oleh leluhur atau orang itu sendiri lewat praktik animisme, perdukunan, pesugihan, maupun peramalan. Orang yang gemar menyimpan dan menyembah benda pusaka adalah salah satu diantaranya. Tak heran jika di Parmas terdapat banyak barang pusaka hasil sitaan Romo Dwiko.
Kadang setan juga meleburkan diri dengan budaya setempat. “Di Indonesia, perjanjian dengan setan dibuat melalui dukun-dukun kecil…..Sebelum masuk ke tubuh orang, setan perlu pendahulu. Pendahulunya ya para dukun itu,” ujar Romo Dwiko. Dia seorang eksorsis otodidak. Romo Dwiko banyak belajar soal eksorsisme dari buku. Salah satunya buku karya Gabriele Amorth, eksorsis senior dari Keuskupan Roma. Romo Gabriele ini merupakan pendiri Asosiasi Eksorsis Internasional yang diakui oleh otoritas tertinggi Gereja Katholik di Vatikan.
Kebanyakan korban kerasukan setan yang menghadap Romo Dwiko didominasi oleh praktik pesugihan dan perdukunan. Ada satu kasus yang sampai sekarang belum terselesaikan. Sekitar satu setengah tahun lalu, ada seorang perempuan mendatangi Parmas. Dia mengeluhkan suaminya yang kesurupan. Sang suami datang dengan kondisi mengenaskan. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sulutan dupa. Namun anehnya ia tak merasa kesakitan. Romo Dwiko pun melakukan pemeriksaan. Karena ritual eksorsisme ini harus dilakukan dengan hati-hati. Salah satunya mengobservasi jika orang ini memang betul diganggu oleh kekuatan supranatural atau hanya mengalami gangguan kejiwaan.
“Kita harus sangat hati-hati membedakannya dengan penyakit psikologis karena gejalanya mirip. Beberapa di antaranya bahkan kayak orang normal, cuma hidupnya selalu penuh dengan penderitaan. …Orang yang dirasuki bisa pergi ke gereja, berdoa, tapi tidak terjadi gejolak apa pun dalam hatinya,” ujar Romo Dwiko. Dari pengalamannya, kasus kerasukan setan 99 persen dialami oleh perempuan.
Sebelum melakukan eksorsisme, Romo Dwiko mewawancarai perempuan itu. Dari wawancara terungkap bahwa kedua orang tua perempuan itu kerap mencari pesugihan. Suatu hari, ayahnya bertapa selama 40 hari 40 malam di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Pertapaan itu diakhiri dengan hubungan intim dengan sang istri. Namun istrinya berubah menjadi sosok perempuan lain yang sangat cantik.
Tak lama kemudian istrinya mengandung. Anak dalam kandungan itu lah yang kemudian jadi perempuan di hadapan Romo Dwiko. Saat lahir, dia bercerita, orang tuanya langsung memandikannya dengan air laut pantai selatan. Dia tumbuh normal dan banyak ikut ritual orang tuanya, tapi ada yang keliru dengan hidupnya. Dia tak pernah bisa hidup tenang. Sudah berapa kali ia mencoba bunuh diri, tapi tak satu pun yang berhasil. Saat SMA ia pernah tiga bulan mengurung diri di kamar karena frustasi tidak dapat melihat apapun kecuali kegelapan.
Setelah menikah,dia masih terus diganggu penampakan dan kesurupan. Ketika Romo Dwiko melakukan eksorsisme muncul lah si setan di hadapannya. Perempuan ini meraung kesakitan. Setiap kali doa dibacakan, muncul bekas cakaran di sekujur tubuhnya. Karena tak tega, Romo Dwiko terpaksa menghentikan eksorsisme. “Saya bisa melakukan eksorsisme tapi dia pasti mati karena setan itu sudah melekat di organ tubuhnya. Selama saya dampingi, tiap malam diganggu oleh jinnya, semacam penjaga Nyi Blorong. Dia sering mengintimidasi dengan bilang, ‘Kamu ngapain menghadap ke romo goblok, tolol itu. Kalau kamu ikut romo itu, kamu akan menderita.’…. Setiap malam seperti itu, memang mengerikan sekali,” Romo Dwiko bercerita.
Intimidasi tak hanya terjadi pada si korban, melainkan juga kepada Romo Dwiko sebagai romo eksorsis. Sudah tak terhitung berapa kali Romo Dwiko menjadi korban balas dendam setan. Penyakit tipes sudah menjadi langganan yang menyebabkan Romo Dwiko sempat rutin bolak balik rumah sakit. Mendengar suara aneh dan pintu kamar diketuk tengah malam sudah menjadi makanan sehari-hari. Itu lah risiko seorang eksorsis.
“Berhadapan dengan yang nggak kelihatan, ancaman balas dendam 24 jam, ini risiko,” kata Romo Dwiko. Pekerjaan pelayanan sebagai seorang eksorsis memang tak menarik. Wajar jika tak banyak pastor eksorsis di seluruh dunia. “ Nggak mungkin ada stipendium alias amplop, malah harus saya tolak. Malah bisa memancing caci maki orang. Kami juga rentan difitnah, dicap romo klenik. Orang nggak bisa membedakan klenik dengan eksorsis. “

Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo

No comments:

Post a Comment