Tuesday, February 21, 2023

𝐁𝐀𝐁𝐀𝐊 𝐀𝐊𝐇𝐈𝐑 𝐊𝐄𝐋𝐔𝐀𝐑𝐆𝐀 𝐏𝐄𝐌𝐔𝐉𝐀 𝐒𝐄𝐓𝐀𝐍, Thread Kisah Tanah Jawa

 

Mestinya aku merasa senang bisa pindah ke rumah baru dengan Istriku, Eli. Namun, aku justru merasa sedang jatuh ke lubang depresi yang dalam, seperti perasaan seseorang saat tiba-tiba terbangun dari tidur karena bermimpi buruk. 

Aku masih ingat saat pertama kali menempati rumah ini. Hari itu gumpalan awan gelap menggantung sendu di langit luas. Aku mulai menyusuri sudut demi sudut seisi rumah, namun mendadak aku merasa sangat lelah dan tidak bersemangat. 

Sejauh apa pun aku berusaha membayangkan keindahan rumah itu bersama anak kami, Martha. Rasanya selalu tak pernah berhasil. Kondisi rumah ini tetap saja tak memancarkan keindahan seperti yang kuimpikan, tapi apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? 

Sejak tinggal di rumah ini, aku rasa ada kehadiran aura magis bergentayangan kuat di setiap sudutnya, menjalar dari satu sudut ruangan ke sudut ruangan lainnya, lalu menyelimuti hampir semua benda yang ada di dalamnya, tak terkecuali dengan ayunan yang berada di taman belakang. 

Aku ingin sekali mencopot ayunan itu dari taman belakang, namun aku tak pernah melakukannya, sebab aku tahu hidup Martha sebagai anakku satu-satunya itu sangat berkaitan dengan ayunan itu, lebih dari apapun yang ada di dunia ini. 

Terutama saat Martha tengah berdiri di jendela, menatap ke arah ayunan. Melihat dia seperti itu membuatku takut, dan aku pikir apapun yang telah Eli lakukan pada malam-malam itu, berimbas pada kondisi Martha saat ini.

Bagiku sendiri, ayunan itu selalu mengingatkanku atas kejadian aneh yang terjadi di rumah ini. Banyak kejadian yang sebenarnya ingin aku kubur dalam-dalam, namun tak pernah bisa. Semua kejadian itu selalu menghantui pikiranku, terutama saat aku terjaga di tengah malam. 

Seperti pada saat Eli dan Martha saat sudah tertidur dengan lelap, tiba-tiba aku merasa cemas dan kalut yang tak biasa. Aku sangat yakin perasaan semacam itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan karena ada sebuah pertanda tentang sesuatu yang akan terjadi. 

Dan benar saja, malam itu aku melihat sosok wanita dengan wajah penuh luka bakar berdiri di sudut kamar. Pakaiannya yang berwarna putih terkena noda tetesan darah, dan tubuhnya yang ramping menandakan sedikit jejak kematian yang tak wajar. 

Cahaya yang terbatas masuk lewat jendela, memberi sedikit jalan bagiku untuk mengenali sosok yang berdiri tak jauh di hadapanku. Meski tak melihat wajahnya dengan jelas, namun aku tahu sosok wanita itu berusaha mendekatiku 

Wanita itu mendekatiku dengan tubuh yang gemetar seperti menahan rasa sakit yang hebat, diseretnya langkah demi langkah hingga kian dekat, diikuti tangis yang terasa pilu, lalu kemudian hilang di antara tirai yang bergoyang karena tiupan angin kencang dari balik jendela. 

Namun, sebelum sosok wanita itu benar-benar menghilang. Aku sempat mendengar suaranya bisikkan tepat di telingaku. Kemudian aku mulai menyadari, sesungguhnya bukan suara bisikkan itu yang mengejutkanku. Melainkan kata-kata yang kudengar dari sosok wanita itu. 

Meski terdengar samar namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. “Enyahlah kamu dari rumah ini, jauhi keluargaku” 

Detik itu juga kusadar, bukan rumah ini yang menjadi sumber masalah. Bukan pula rumah ini yang harus kutinggalkan. Ada sesuatu dalam keluargaku yang menyebabkan kejadian-kejadian ini terjadi. 

Tadinya aku berpikir bahwa semua yang terjadi hanya karena perasaanku saja. Namun, semakin hari rasanya aku tak bisa lagi menerimanya sebagai sebuah kebetulan. Semakin hari semuanya tampak menunjukkan padaku perasaan yang lain. 

Sebuah perasaan yang perlahan menguasai jiwaku, sebuah sensasi yang takkan bisa ditelaah oleh kemahiran analisis, dijelaskan dengan teori ilmu, atau dipecahkan oleh waktu. Bahkan, perasaan semacam ini mungkin hanya aku sendiri yang merasakannya. 

Kejadian itu memicu rasa ingin tahuku tentang siapa sosok wanita itu sebenarnya, sebuah kekeliruan mungkin sudah terjadi di rumah ini. Meninggalkan pertanyaan yang menggantung di kepala, hingga memunculkan berbagai macam spekulasi, tentang apa yang terjadi pada keluarga ini. 

Ingatanku tiba-tiba tertuju pada satu ruangan yang tertanam jauh di dalam tembok rumah kami yang asing. Sebuah ruangan yang jarang dijamah oleh siapapun. Namun, aku pernah mendapati istriku Eli dan pembantuku Mak Tiek memasuki ruangan itu di malam hari. 

Sinar kemerahan remang-remang membanjiri beberapa bagian ruangan lewat bukaan teralis di jendela, memberi pencahayaan minim ke dalam ruangan, akan sulit untuk menerka apa yang ada di dalam. Kecuali, aku bisa masuk ke sana. 

Beberapa hari kemudian setelah aku mendapati mereka memasuki ruangan itu. Aku mulai sering mendapati perubahan yang serius dalam diri Eli, yang menandakan ketidakseimbangan pada kondisi mentalnya. Sikap normalnya mendadak hilang begitu saja. 

Aku mengenal Eli, jauh semenjak dirinya masih tinggal di asrama bersama Mbak Darti, Selama aku mengenalnya, tampaknya aku tak pernah menaruh sedikit pun rasa curiga kepadanya. Eli adalah gadis pendiam yang brilian, Eli sangatlah pandai. Itu adalah salah satu hal yang membuatku… 

Menikahi Elizabeth van der Molen. 

Eli tampak lebih pendiam dan sering menyendiri dibandingkan teman-teman lainnya. Namun rupanya, ada satu hal lain yang baru kuketahui setelah cukup dekat dengannya. Eli bisa berinteraksi dengan mereka yang tak kasat mata, Eli juga bisa memahami “mereka” 

Awalnya aku terkejut, namun kemudian aku berpikir bahwa ada orang-orang lain yang diberkahi kemampuan yang sama seperti Eli. Kurasa, akhirnya itu suatu kelebihan yang normal-normal saja, tak lebih dari sebuah anugerah. 

Setelah menikah kami memutuskan pindah, sejak itu aku sering mendapati Eli keluar masuk ruangan itu, aku mulai merasakan ada beberapa perubahan sikap pada dirinya. Eli bersama dengan Mak Tiek sering kudapati keluar masuk ruangan itu dengan langkah yang tergesa. 

Suaranya kadang berubah penuh getar, seperti orang ketakutan. Sesekali aku berpikir mungkin Mak Tiek tengah tersiksa dengan rahasia besar yang sedang ia jaga. Aku tahu, Mak Tiek memang bukan pengasuh Eli sejak kecil, namun aku yakin Mak Tiek tahu banyak rahasia keluarga ini. 

Hingga hari yang tak diduga itu tiba, tidak sengaja aku menemukan sepucak surat di tempat yang dirasa aman bagi Mak Tiek untuk menyimpannya. Kejadian itu berawal dari rasa penasaranku terhadap ruangan yang selalu dirahasiakan, dan sikap Mak Tiek yang selalu tertutup padaku. 

Kulihat dari dalam surat itu terdapat beberapa dokumen, salah satu yang langsung menarik perhatianku adalah secarik kertas usang dengan tulisan “Keluarga van der Molen” di bagian kepalanya. Lembar kertas itu menyeruak dari dalam surat, kurasa ini bisa menjelaskan sesuatu. 

Secarik kertas itu berisikan teks yang menceritakan tentang keluarga van der Molen. Benakku menyakini bahwa orang tua Eli yang menuliskan itu. Dari teks itu aku menyadari sesuatu; Eli adalah anak tunggal yang kehadirannya menghadirkan sukacita bagi kedua orang tuanya. Tetapi…

Hal yang tidak kumengerti adalah perihal penyembahan. Siapa yang disembah? “Suatu saat penyembahan mampu menciptakan keajaiban, mengabulkan yang paling mustahil sekalipun” Kalimat yang janggal itu semakin mengganjal, saat diakhiri dengan pernyataan bahwa itu sudah dibuktikan. 

Belum kulepaskan kertas itu dari tanganku, pikiranku sudah melayang dan menerka teka-teki yang merasukiku. Membayangkan kemungkinan demi kemungkinan, meraba sebuah logika dalam kejadian tak logis yang terjadi dalam keluargaku. 

Belum usai menerka, aku kembali teralihkan oleh sebuah gulungan kertas yang tersimpan dalam surat. Gulungan itu cukup besar sehingga menimbulkan penasaran dalam batinku, lagi-lagi aku tak sanggup menahan diri. 

Saat gulungan itu tersingkap aku sontak terkejut!
Sebuah silsilah keluarga van der Molen yang bahkan aku sendiri tak pernah tahu keberadaannya. Apalagi.. Nama Martha buah hatiku sudah tersemat pula di dalamnya.

Catatan itu berisikan silsilah keluarga Eli beserta nama-nama yang tertera di sana. Ada beberapa nama yang tidak kukenal. Namun, sejenak kuperhatikan dengan seksama, pikiranku langsung tertuju pada satu foto wanita yang tampak tak asing bagiku. 

Sedikit meraba aku akhirnya sadar, bahwa wanita itu adalah sosok yang datang menampakkan diri padaku beberapa malam yang lalu. Aku begitu yakin bahwa sosok itu adalah Nyonya Margaretha, tiada lain adalah Ibu dari istriku Eli. Silsilah yang ada dalam catatan menunjukkan itu semua. 

Nyonya Margaretha, namanya membuat sekujur tubuhku merasa ketakutan yang teramat sangat, tubuhku bergetar dengan sangat hebat. Aku merasa Nyonya Margareth sedang berada di dekatku, memperhatikan dan seakan membaca pikiranku. 

Seraya bergidik, aku teringat bisikan sosok Nyonya Margareth yang menemuiku waktu itu, bisikan yang memintaku menjauhi keluargaku sendiri. Masih terngiang mengapa Nyonya Margaretha memintaku pergi, apakah ada sebuah kesalahan yang kulakukan? Apakah ada dosaku kepada keluarga ini? 

Eli sendiri tak pernah menceritakan semua ini padaku, Eli mengaku tak pernah tahu siapa kedua orang tuanya, lalu mengapa catatan silsilah ini bisa sampai di rumah ini, pasti ada seseorang yang sengaja membawa, dan menyimpannya untuk tujuan yang tak pernah aku pahami. 

Namun aku berani menyimpulkan, sejak pindah dan kegiatan Eli yang dirahasiakan di ruangan itu, Eli berubah seperti terjerumus ke dalam kondisi kegilaan. Tak jarang kulihat dia menatap dinding selama berjam-jam, seakan dinding itu bisa berbicara kepadanya. 

Situasi seperti itu terjadi juga di saat malam-malam saat aku bersamanya. Semakin aku menyiapkan diri untuk melakukan hubungan intim dengan Eli, semakin bergejolak pula diriku, seperti ada yang melihat kami berdua, seperti ada yang ingin mengambil alih kesadaranku… 

Aku tak pernah bisa menggapai “hal” yang kurasa menggangguku itu dan di sisi lain aku pun tak dapat mencegah hadirnya sensasi itu. Keintiman kami seperti bukan hal yang natural melainkan campur tangan lainnya. 

Sementara Eli, aku merasa dia tidak pernah paham dengan apa yang kurasakan, dan aku pun sangat yakin bahwa dia tidak pernah menikmati saat bercinta di malam itu, mungkinkah ada bagian dari dirinya yang lain yang merasakan kenikmatan itu, namun sungguh aku tak merasakan apapun. 

Aku seperti dipaksa untuk melakukan hubungan intim, seperti ada dorongan yang mempengaruhi alam bawah sadarku, aku sama sekali tidak punya gairah untuk bercinta dengannya, selama itu juga rasanya aku tidak mengenal Eli seperti Eli yang biasa aku kenal. 

Namun, bukan berarti aku sudah tidak lagi mencintainya, aku masih mencintai Eli sepenuhnya sama seperti pertama kita bertemu dulu, kalupun tidak; aku akan terus berusaha untuk mencintainya kembali. Tentu juga dengan Martha, kesayanganku dan Eli. Aku akan terus berusaha! 

Saat tengah bercinta, satu-satunya alasan kenapa aku memalingkan wajahku ke atas, mengalihkan pandanganku dari cermin, adalah karena aku telah menyaksikan pemandangan mengerikan. Aku melihat sosok dengan kepala kambing, yang muncul dari permukaan cermin. 

Tak bisa kujelaskan dari mana datangnya, dan mengapa semua itu bisa terjadi. Jantungku berdebar hebat dan bulu kudukku tegak berdiri di tengkuk. Aku menyadari kedatangan sosok di tengah-tengah kami, namun rasanya sulit untuk menghentikan gairah liar yang entah datang dari mana… 

Ada sesuatu yang mengendalikanku…. 

Aku berusaha keras meraih sadarku. Tubuhku gemetar tanpa alasan, dadaku berat seolah diduduki seseorang. Terkadang jiwaku seperti berada di luar tubuhku, tergambar seperti aku menyaksikan diriku sendiri di ranjang bersama istriku. 

Kadang berganti posisi senggama tanpa kuasa dari diriku. Aku lalu dipaksakan menatap ke satu sisi ruangan yang gelap, tiba-tiba mataku menangkap wajah anak kecil berkepala kambing berwarna putih susu tepat dihadapanku. 

Di saat bersamaan kesadaranku kembali seperti kilat yang menyambar, aku terkejut dan coba bangkit dari tidur, keringat bercucuran dengan deras, sambil mengenakan pakaianku, aku mendengar suara langkah kaki itu kembali, setelahnya aku mendengar suara ketukan pintu di kamarku. 

Sementara Eli, dia tampak tertidur dengan pulas dan setiap aku cerita keesokan paginya, dia tidak pernah menggubris kejadian itu dengan serius, seringkali dia menampiknya, dan berpikir bahwa aku hanya sedang kelelahan. 

Kejadian itu akan terus berulang, tak memandang malam kapanpun saat kami bersenggama ia akan selalu datang. Sosok berkepala kambing dan terkadang ia diiringi oleh anak-anak kecil. Teror semakin menjadi-jadi dan aku hanya memiliki diriku sendiri untuk menghadapinya. 

Mestinya Martha menjadi penyempurna kebahagiaan kami. Namun entah kenapa, sejak dia lahir semuanya perlahan berubah. Berawal dari hari pertama saat kami menempati rumah ini, keanehan pun mulai bermunculan di setiap sudut rumah.

Terus muncul dan tidak pernah berhenti, seakan semua peristiwa yang terjadi selalu berkaitan dengan Martha. Keanehan itu juga yang terus menghantui pikiranku, dan semakin kucoba untuk mencari tahu, semakin aku tersesat di dalamnya. 

Martha memang tidak seperti anak-anak pada umumnya, ia kerap terjaga di tengah malam, dan jarang sekali menangis, tidak seperti bayi-bayi lainnya, dan saat mulai bisa merangkak sendiri, selalu yang dilakukannya adalah menuju ke jendela depan ayunan di taman belakang. 

Seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya, Martha selalu memandang dengan sangat lama ke arah ayunan itu, meski hujan turun dengan sangat deras dan petir menyambar kesana-kemari. Martha akan tetap berada di tempat yang sama, berdiri di hadapan jendela sambil menatapi ayunan. 

Di umur 4 tahun, Martha lebih banyak menghabiskan waktunya di taman belakang. Pernah aku mendapati dirinya seperti sedang mengajak seseorang bicara. Kuperhatikan sekali lagi, namun ternyata hanya ada Martha seorang diri di sana. 

Sejak kecil Martha memang sudah mencintai binatang, dirinya pernah meminta izin kepadaku untuk memelihara binatang, maka saat itu aku bawakan dia beberapa ekor anak ayam, yang kemudian dia pelihara di taman belakang. 

Martha seperti mengikuti insting kebinatangannya, yang membuatnya tampak menjadi lebih buas, mendorongnya untuk menyiksa binatang yang tak berdaya itu. Bagaimana bisa itu dilakukan oleh anak berumur 4 tahun??? 

Pagi itu, dari jendela aku melihat Martha sedang bermain dengan ayam-ayamnya, semua pemandangan itu tampak normal, sampai ketika Martha mulai mengambil salah satu anak ayam, lalu mengikat leher anak ayam itu, dan digantungkannya di antara dahan pohon. 

Belum berhenti sampai di sana, aku yang terkejut coba untuk mendekati Martha. Namun terlambat, belum sampai aku di taman belakang, Martha sudah mematahkan kaki anak ayam itu dan memakannya mentah-mentah, kudapati mulut Martha sudah penuh dengan lumuran darah ayam. 

Aku memang selalu merasa berjarak dengan Martha, setiap kataku seolah selalu lenyap di telinganya. Tatapanku rasanya tak berarti apa-apa baginya. Untunglah ada pembantu kami bernama Mak Tiek yang ikut merawat Martha. 

Walau aku tak pernah menceritakan tentang banyak keanehan yang terjadi, dari ekpresi Mak Tiek yang begitu prihatin melihatku, aku merasa ia bisa menebak apa yang sebenernya terjadi padaku selama ini, tentang keluarga ini, dan tentang apa yang dilakukan Eli di ruangan rahasia. 

Di lubuk hati yang terdalam, aku sesungguhnya masih mencintai istriku, Eli. Tapi, aku tak pernah mampu untuk membuat dia kembali seperti dulu. Aku selalu merasa ada sesuatu yang lain dalam jiwa istriku, dan menurut biarawati yang aku temui, semua itu berpengaruh pada Martha. 

Maka, pantas rasanya jika itu bisa menular pada Martha. Bisa kurasakan gejala yang dialami Eli secara perlahan merasuki pikiran Martha, sehingga pikirannya menjadi terpengaruh oleh sosok yang sudah lama mengikuti keluarga ini. 

Tak pernah akan aku biarkan mereka terus merajela sepuasnya!
Karena aku… masih mencintai istriku, Eli dan anakku Martha. 

No comments:

Post a Comment