Thursday, May 17, 2018

Menghadapi Fenomena Pelakor dengan Welas Asih




oleh: BESTRELOADun
Kamu pasti tahu kasus pelakor yang belakangan ini viral kan? Menurut kamu siapa yang salah?
Pelakor atau perebut lelaki orang menjadi buah bibir yang belakangan ini marak dibahas di masyarakat, terlihat satu video viral dimana si istri mempermalukan seorang wanita yang tertangkap berselingkuh dengan suaminya. Video ini memicu banyak tanggapan, ada yang merasa bahwa ini adalah hukuman yang setimpal, ada yang menganggap bahwa tindakan si istri kelewatan, dan sebagainya, namun untuk kamu yang Buddhis, bagaimana kamu harus menanggapinya? Tulisan ini murni merupakan pendapat subjektif penulis yang menghubungkan fenomena pelakor dengan nilai-nilai Buddhis yang selama ini penulis pelajari.
Jujur, tidak semua hubungan berjalan mulus, kamu yang pernah berpasangan pasti pernah mengalami masa-masa tersebut.
Hal ini adalah hal yang lumrah, ketika kamu sudah berkomitmen dengan satu orang, dan ada sebagian kemauan atau ekspektasimu yang tidak tercapai, maka melirik orang lain menjadi satu reaksi. Apalagi menurut Buddhis, kita semua membawa jejak-jejak karma yang begitu banyaknya dari kehidupan lampau, jika kamu dulu pernah selingkuh, maka ada kecenderungan kamu akan melakukannya lagi, dan hal ini gak bisa kamu kendalikan sama sekali. Bagaimana cara menghentikannya? Dengan menambah kapasitas batinmu melalui metode tiga latihan sila (menjaga moralitas), samadhi (konsentrasi terpusat), dan prajna (kebijaksanaan). Mulai dari menambah pengetahuan seperti mengetahui apa saja karma hitam (termasuk didalamnya selingkuh) dan akibat-akibat apa yang bisa diterima.
Jadi ketika kamu melihat seorang pelakor, coba bayangkan bahwa orang tersebut memang punya jejak-jejak karma dari sebelumnya, kamu juga mungkin saja punya. Kamu dan dia sama-sama makhluk yang masih berada dalam tahap latihan, jadi bukannya mencemooh atau ikutan mengejek, kamu harusnya mengembangkan sikap welas asih saat melihat fenomena pelakor tersebut.
Solusi masalah itu harusnya ke dalam bukan ke luar,  bukan saja hubungan pertemanan hancur, hubungan dengan pasangan juga semakin berantakan
Filosofi utama dalam Buddhisme adalah kebahagiaan berasal dari faktor internal, bukan faktor eksternal. Itu kenapa Buddha Gautama mencapai pencerahan dengan bermeditasi mengalahkan kekotoran batinnya, bukan dengan menjadi batman/ superman untuk mengalahkan atau membunuh musuhnya. Ada juga satu kutipan Guru besar Shantidewa yang mengatakan bahwa “Kamu tidak bisa mendapatkan kulit untuk menutupi seluruh dunia, namun dengan kulit dibawah kakiku, seluruh dunia bisa kujelajahi”.  Hal ini berlaku juga untuk banyak permasalahan di kehidupan sehari-hari.
Hal yang dilakukan si istri merupakan hal yang tidak tepat, karena lebih baik hubungan rumah tangga diselesaikan di dalam melalui komunikasi langsung dengan suaminya, namun dengan menyebarkan video penghakiman pelakor tersebut, situasi menjadi semakin rumit dan keadaan menjadi semakin tidak dapat diperbaiki.
Suatu permasalahan tidak akan selesai jika dihadapi dengan kebencian, kebencian hanya berakhir jika dibalas dengan cinta kasih
Sama seperti si istri yang merasa dikhianati, lalu mengunggah videonya mempermalukan pelakor itu, pada akhirnya kini yang muncul adalah video-video klarifikasi balasan dari pihak lawannya itu. Bukan hanya itu, kini kebencian tersebar di masyarakat, banyak yang mencemooh si pelakor, suaminya sendiri, bahkan si istri sendiri juga banyak dicemooh karena kelakuannya. Hasilnya semuanya rugi, tentunya jika kamu jadi mereka hidup jadi gak tenang kan? Semuanya tidak bahagia.
Buddhis selalu menekankan bahwa kebencian haruslah dibalas dengan cinta kasih, karena kebencian muncul dari karma dan klesha, dan saat kamu balas membenci, kamu membuat lagi karma yang serupa, dan akhirnya karena kebiasaan kamu akan terus-menerus melakukan hal yang sama dan klesha kebencian akan semakin kuat. Akibatnya, masalah baru akan terus datang bertubi-tubi sebagai akibat dari kebencian yang makin besar itu. Maka dari itu, hanya dengan mengembangkan cinta kasihlah kamu bisa mengikis kebencian sehingga lama-kelamaan tidak lagi harus mendapat akibat buruk dari membenci.
Contoh nyata bisa kita ambil cerita dari majalah Vogue artikel berjudul “One Woman’s Tale of Marital Survival After Falling For Another Man” (Dikutip dari https://tirto.id/sisi-lain-isu-pelakor-jatuh-cinta-kepada-orang-selain-pasangan-cE94), cerita seorang bernama Marcia yang jatuh cinta pada orang lain saat dirinya telah menikah. Marcia mengakui kesalahannya dan secara tulus meminta maaf kepada suaminya. Suaminya tidak marah dan bisa memaafkannya. Suaminya mengajarkan nilai empati pada Marcia sehingga akhirnya kedua pasangan ini bisa saling menerima.
Jadi…
Ya, dalam Buddhis, berhubungan seksual dengan orang selain pasangan merupakan tindakan seksual yang tidak pantas. Jelas-jelas melanggar salah satu sila dari Pancasila Buddhis. Pihak lelaki yang berselingkuh maupun pelakor berbuat karma buruk yang sama. Karma buruk tetap ada walaupun belum berhubungan seksual, namun jalan karma hitamnya belum lengkap.
Tapi…
Ketika kamu jadi korban perselingkuhan, apakah kamu memilih membuat karma buruk sendiri dengan marah-marah dan koar-koar di sosmed, atau berbuat bajik dengan membantu pasangan kamu agar tidak berbuat karma buruk lagi? Itu semua pilihanmu.

No comments:

Post a Comment